Laporan Wartawan Tribun Bali, I Made Argawa
TRIBUNNEWS.COM, TABANAN - Suasana sejuk menyapa ketika memasuki wilayah Desa Petiga, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali.
Wilayah yang terkenal sebagai sentra tanaman hias itu ternyata memiliki keunikan lain.
Ada air terjun Toya Bubuh.
Air di tempat ini diyakini memiliki sejumlah khasiat, misalnya bisa mengenyangkan peminumnya. (Tribun Bali/Made Argawa)
Itulah daya tarik di Banjar Dinas Petiga Kangin, Desa Petiga.
Menuju Air Terjun Toya Bubuh, Anda akan menyusuri jalanan nan hijau melewati hamparan sawah berpadi.
Sekitar dua kilometer dari Kantor Perbekel Desa Petiga.
Air terjun yang berlokasi di atas Sungai Sungi itu harus dicapai dengan menyusuri sekitar 300 anak tangga.
Kelihan Dinas Banjar Petiga Kangin, I Nyoman Martana, menjelaskan, di lokasi air terjun Toya Bubuh juga terdapat pura sebagai tempat semadi beberapa orang yang menekuni dunia spiritual.
“Pura Toya Bubuh juga dijadikan tempat wisata spiritual, terutama untuk tempat meditasi. Tempatnya tenang dan memiliki aura yang bagus,” ujar Martana ketika diajak menuruni anak tangga menuju Pura Toya Bubuh, Minggu (15/11/2015).
Ketika sampai di Pura Toya Bubuh, tidak langsung terlihat air terjunnya.
Pura tersebut berisi sebuah balai piasan dan sebuah pelinggih.
Di belakangnya terdapat dua buah pelinggih dan di barat kedua pelinggih tadi terdapat air terjun.
“Air terjunnya berada dalam tanah, di bawahnya ada kubangan air menyerupai bulakan,” jelas Martana.
Setelah itu, Nyoman Martana mengajak Tribun Bali untuk sembahyang di pelinggih yang berada di depan air terjun Toya Bubuh.
Setelah sembahyang, Martana yang kesehariannya sebagai penjual tanaman hias itu mengambil sebuah telur asin yang dibawanya dan dibuka lalu dibuang ke dalam kubangan air terjun menyerupai bulakan.
Setelah itu muncul dua ekor belut besar atau morea menyantap telur asin yang diberikan Martana.
“Due (hewan yang dikeramatkan) di sini adalah be julit,” ujarnya.
Martana mengakui, pada hari-hari tertentu akan muncul lebih dari dua morea, terutama pada rerainan pada penanggalan Bali.
“Menurut cerita, bagi yang memiliki indera keenam, warna be julit di sini warna-warni, tidak hanya hitam,” jelasnya.
Selain itu, menurut penuturan para tetua banjarnya, keberadaan be julit di Toya Bubuh awalnya merupakan sebuah kayu yang membentang di atas Sungai Sungi yang juga menjadi perbatasan antara Kecamatan Marga, Tabanan dengan Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
“Diceritakan ketika Kerajaan Badung menyerang Kerajaan Mengwi, ada prajurit Kerajaan Mengwi lari ke Petiga. Setelah melewati kayu sebagai jembatan penyeberangan, tiba-tiba kayu itu berubah menjadi be julit dan ular besar. Be julit itulah yang ada di air terjun Toya Bubuh ini,” paparnya.
Jro Mangku Pura Toya Yeh Bubuh, I Nyoman Suparta (64) saat ditemui di rumahnya, menjelaskan, dalam Babad Paliwet Tatwa dijelaskan keberadaan be julit serta nama Toya Bubuh.
Dalam babad tersebut diceritakan sumber air di lereng hutan Petiga sudah ada saat Kerajaan Badung menyerang Kerajaan Mengwi.
Prajurit dari Kerajaan Mengwi yakni Pasek Sekalan saat pertempuran di Desa Sembung kalah dan lari ke barat menyeberangi Sungai Sungi.
Ketika melewati sebatang kayu sebagai jembatan, dan sampai di hutan Petiga, kayu itu berubah menjadi be julit dan ular besar.
“Dengan berubahnya kayu menjadi be julit dan ular, Pasek Sekalan tidak bisa dikejar oleh pasukan Kerajaan Badung karena air Sungai Sungi kala itu deras,” terangnya.
Setelah tiba di hutan Petiga, Pasek Sekalan menemukan sebuah air terjun.
Karena kelelahan, Pasek Sekalan meminumnya.
Setelah meminum air tersebut, Pasek Sekalan merasakan seperti sudah makan nasi yang berisi lauk, sehingga diberi nama Toya Bubuh.
“Toya berarti air, sementara bubuh berarti bubur atau makanan, karena setelah meminum air terjun itu rasanya seperti habis makan, makanya dinamakan Toya Bubuh,” papar Suparta. (*)