TRIBUNNEWS.COM - Ajang Frankfurt Book Fair masih menyisakan kenangan mengesankan.
Sebagian dari tim kuliner Indonesia mengulang kembali kenangan rasa itu dengan memasak bersama masakan yang ditampilkan di Frankfurt.
Sebagian tim masak Indonesia, awal Desember lalu, menggelar acara masak-masak bersama beberapa media di Almond Zucchini, studio masak di bilangan Prapanca, Jakarta Selatan.
Menu yang dimasak adalah sebagian dari menu yang hadir di perhelatan Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 di Frankfurt, Jerman.
Ketiga menu yang dimasak adalah laksa marinara, kohu kohu, dan klapertaart kopi.
Untuk kohu kohu, pernah dibahas dalam Kompas Minggu, 22 November 2015.
Menu laksa marinara dimasak berdasarkan resep formula Sisca Soewitomo, kohu kohu dari resep Bara Pattiradjawane, dan klapertaart kopi dari resep Solihin.
Ketiga menu inilah yang dimasak para perwakilan berbagai media dalam kelompok-kelompok kecil yang dinamai dengan aneka rempah, seperti kelompok jahe, ketumbar, dan jinten.
Beberapa chef turut serta mendampingi setiap kelompok, yakni Solihin, Bara Pattiradjawane, Emmanuel Julio, Darius Tjahja, Ivan Leonard, dan Budi Lie.
Semua hasil masakan setiap grup tersebut nantinya akan dicicipi William Wongso, penggiat kuliner Indonesia yang juga bagian dari tim kuliner Indonesia di FBF.
Laksa marinara menggunakan bahan isi utama ikan fillet, ayam atau udang, bakso ikan, dan bihun.
Sementara itu, bumbu yang disertakan adalah bumbu dasar merah yang terdiri dari cabai, bawang merah, bawang putih, garam, merica, terasi goreng, daun salam, daun jeruk, batang serai, jahe, kecombrang iris, lengkuas, dan sedikit gula pasir.
Jika tidak ada kecombrang atau honje, bisa diganti dengan daun kemangi.
Klapertaart Kopi Indonesia di ajang Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 di Frankfurt, Jerman. (KOMPAS/SARIE FEBRIANE)
Yang menarik, dari semua kelompok yang memasak laksa dengan resep yang sama, ternyata menghasilkan cita rasa laksa dengan derajat rasa yang berbeda-beda cukup nyata.
William Wongso, misalnya, sempat berkomentar ada yang cita rasanya cenderung Jawa, maksudnya kuat menonjolkan rasa manis.
”Menurut saya, setiap kelompok punya ciri khas rasa laksa masing-masing yang unik, tidak bisa dipilih mana pemenangnya,” ujar William.
Salah satu laksa yang cukup mengesankan adalah yang dimasak Intan Yusan Septiani dari majalah Sedap dan tabloid Saji serta Syukur dari majalah Femina.
Laksa racikan Intan dan Syukur memiliki keseimbangan rasa yang baik dengan aroma bunga honje yang menggelitik.
Kuah santan dari laksa pun halus tak tampak pecah dan tak menghasilkan pulau-pulau minyak.
Rupanya, salah satu rahasia kecil yang dilakukan Intan dan Syukur adalah dengan tidak menumis bumbu-bumbu halus dan rempah sebelum dimasak bersama santan.
Sebaliknya, kelompok-kelompok lain menumis bumbu terlebih dahulu.
Dengan cara begitu, Intan dan Syukur meyakini cita rasa dan aroma rempah masih melebur dan terkurung dalam kuah santan laksa.
”Jadi, semua bumbunya langsung dimasak bersama santan, yang diaduk terus supaya tidak pecah,” ungkap Intan.
Untuk menu klapertaart, boleh dibilang belum ditemukan yang benar-benar memuaskan.
William, misalnya, bisa menebak beberapa klapertaart terlalu lama dipanggang dalam oven dan ada pula yang kurang waktu pemanggangan.
Ada pula yang kocokan putih telurnya kurang sempurna sehingga menghasilkan busa putih telur yang masih basah.
”Keberhasilannya juga cukup tergantung mengenali oven dengan baik. Setiap oven bisa lain-lain sifatnya,” kata William.
Laksa Marinara di Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 di Frankfurt, Jerman. (KOMPAS/SARIE FEBRIANE)
Claudia Kaiser, Wakil Presiden Frankfurt Buchmesse untuk wilayah Asia Tenggara, yang juga menjadi peserta masak-masak mengungkapkan, masakan Asia Tenggara mulai menjadi favorit tersendiri di kota-kota besar di Jerman.
”Hanya saja, yang sering kami temui baru masakan dari Thailand dan Vietnam. Jarang sekali terlihat ada masakan Indonesia. Padahal, waktu di FBF, masakan Indonesia banyak sekali yang suka. Laris, sukses,” kata Claudia.
Oleh karena itu, menurut Claudia, sudah seharusnya Indonesia mengambil momentum saat ini dengan lebih sering menghadirkan masakan Indonesia di Jerman.
Dengan demikian, ragam masakan Asia tak melulu hanya asal Tiongkok, Jepang, Thailand, atau Vietnam.
Tim Indonesia merupakan tim juru masak asing pertama yang mendapat kepercayaan untuk masuk ke dapur FBF yang berukuran lebih dari 1.000 meter persegi untuk menyiapkan makanan bagi ribuan pengunjung setiap hari.
Chef Solihin, yang juga turut serta dalam tim ke Frankfurt, mengungkapkan, publik di Jerman cukup berani menjajal masakan Indonesia yang kaya bumbu.
”Nasi goreng, misalnya. Saat mereka pesan, kami tanya, mau pedas tidak. Ternyata mereka malah banyak yang memilih pedas. Katanya ingin coba pedasnya Indonesia seperti apa. Walaupun setelah coba, mukanya pada merah semua, ha-ha-ha,” kata Solihin.
Kopi Indonesia
Selain masakan Indonesia, pengunjung FBF juga terkesan dengan presentasi kopi asal Indonesia yang digawangi oleh Lisa Virgiano dan Mei Batubara dari Indonesia Coffee Project.
Dalam acara Spice It Up ini, kopi yang disajikan di FBF juga turut dihadirkan serta menjadi bahan untuk klapertaart kopi ala Chef Solihin.
Kopi untuk klapertaart tersebut menggunakan kopi dari Gunung Merapi, Jawa Tengah.
Dalam presentasi kopi di ajang FBF di Museum Applied Arts (Museum Angewandtekunst), Lisa membawa enam macam kopi single origin dari sejumlah wilayah di Indonesia yang belum terlalu dikenal produksi kopinya.
Bahkan Lisa membawa kopi dari perkebunan yang sebelumnya nyaris sekarat, yakni Pengala, Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
”Petani kopi di sana pun nyaris putus asa. Mereka semula tidak percaya kopinya dibawa ke Frankfurt,” ungkap Lisa.
Rempah-rempah Indonesia yang memperkaya kuliner Indonesia di Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 di Frankfurt, Jerman. (KOMPAS/SARIE FEBRIANE)
Kopi-kopi yang dibawa Lisa, yakni arabika dari Solok, Sumatera Barat, yang diproses secara natural, kopi Pangala Toraja Utara Sulawesi Selatan, kopi Sembalun Lombok Timur, kopi Buntu Sisong Tana Toraja, kopi Kapahiang Kabawetan Bengkulu.
Dari aneka kopi tersebut, kemudian dibuat campuran yang dinamai Frankfurt Blend.
Lisa bekerja sama dengan suatu microroaster di Frankfurt untuk menggarang kopi-kopi mentah yang dibawa dari Indonesia dan meracik campuran yang tepat.
Selain menyajikan kopi Indonesia, tim Indonesia mempresentasikan bagaimana kopi diolah sejak pasca panen.
Publik di Frankfurt juga dibuat memahami seperti apa jiwa dan semangat perjuangan agrikultur di antara para petani kopi.
Petani-petani kopi yang kopinya dibawa ke Frankfurt tersebut juga turut ditampilkan dalam presentasi.
Keunikan dan eksotisme lapis-lapis rasa dari berbagai jenis kopi Indonesia itu ternyata cukup mengesankan para pencinta kopi yang hadir dalam presentasi tersebut.
”Saya senang sekali, dari acara itu sampai ada yang tahun depan serius mau datang ke Indonesia untuk menyuplai langsung dari para petani,” ungkap Lisa. (SARIE FEBRIANE)