TRIBUNNEWS.COM, BENGKULU - Penjabat Gubernur Bengkulu, Sujahar Diantoro mengatakan bahwa Pulau Enggano, pulau terluar berjarak 106 mil laut dari Kota Bengkulu berpotensi menjadi ikon pariwisata Bengkulu.
Alasannya, pulau ini memiliki keunikan dari sisi budaya, ekosistem dan pesona perairan bawah laut.
Secara budaya, menurut Sujahar, masyarakat yang bermukim di pulau itu masih memegang tradisi dan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam di pulau tersebut.
Pulau Enggano. (Youtube)
"Pulau Enggano dihuni masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal dan pesona kekayaan alam yang bisa menarik turis domestik," katanya di Bengkulu, Rabu (6/1/2016).
Sementara keunikan ekosistemnya terekspos dari hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang melakukan ekspedisi ke pulau itu pada 2015.
Ekspos dari LIPI itu mengungkap hal penting yang membuat Enggano semakin istimewa karena dari penelitian terhadap flora dan faunanya menunjukkan bahwa pulau itu tidak pernah bersatu dengan Pulau Sumatera.
"Saya sudah meminta Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara untuk menyusun proposal tentang strategi pengembangan Pulau Enggano untuk sektor pariwisata," katanya.
Proposal tersebut akan disampaikan ke pemerintah pusat untuk mendukung pengembangan pulau terluar itu untuk menjadi salah satu destinasi wisata berbasis ekosistem darat dan perairan.
Menurut Sujahar, tantangan dalam penyusunan proposal tersebut adalah strategi yang realistis dalam perencanaan pembangunan dan memanfaatkan jejaring yang baik, sehingga dapat meyakinkan pemerintah pusat.
Selama ini, kekayaan alam menjadi modal utama yang dimiliki Provinsi Bengkulu untuk menarik wisatawan ke daerah ini.
"Kekayaan flora dan fauna seperti bunga rafflesia dan keberadaan satwa gajah sumatera menjadi andalan, tapi Enggano jangan dilupakan karena potensinya besar," tuturnya.
Pulau Enggano yang berada di tengah-tengah Samudera Hindia dapat diakses dengan jalur laut dengan pelayaran selama 12 jam dan jalur udara dengan pesawat perintis selama 40 menit.
Pulau seluas 40 ribu kilometer persegi itu dihuni lebih dari 2.800 jiwa penduduk yang bermukim di enam desa yakni Kahyapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok dan Banjarsari.