Laporan Wartawan Tribun Jogja, Hamim Thohari
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Malam itu, jarum jam menunjukkan waktu telah melebihi jam 12 malam.
Di tengah cuaca yang cukup dingin karena pada saat itu sebagian besar wilayah Yogyakarta baru saja diguyur hujan dari sore hingga malam hari, di salah satu sudut ruas jalan Kauman, Yogyakarta, terlihat seorang nenek terkantuk-kantuk di balik sebuah gerobak ronde sederhananya.
Hanya ditemani sebuah lampu minyak dan beberapa wadah ronde, kolang-kaling, dan kacang yang sudah mulai kosong, nenek tersebut masih bertahan berjualan hingga larut.
Mbah Paiyem, 90 tahun, sang penjual ronde di Jogja. Tubuhnya sudah ringkih, semangat masih membara.
"Rondenya tinggal satu, mau tidak dek?" ujar sang nenek kepada wartawan Tribun Jogja yang ingin mencicipi ronde tersebut.
Penjual ronde di jalan Kauman tersebut adalah seorang nenek berusia 90 tahun bernama Paiyem.
Setelah beberapa waktu yang lalu pemberitaan media di Yogyakarta diramaikan dengan Mbok Lindu seorang penjual gudeg berusia 96 tahun, kini Mbah Paiyem juga mulai ramai dibicarakan.
Sehingga banyak orang yang penasaran dengan racikan ronde sang nenek yang masih semangat mencari nafkah tersebut.
Di tengah usianya yang sedemikian senja, Mbah Paiyem masih berusaha melayani pembelinya sebaik mungkin.
Karena kemampuan fisik yang telah menurun, setiap pelanggan harus sabar menunggu giliran untuk dilayani. Seringkali anda yang datang lebih dulu akan dilayani belakangan, terlebih saat ramai pembeli.
Minuman ronde yang dijual Mbah Paiyem di Jogja.
Terus mencoba melayani pembelinya dengan baik terlihat dari beberapa kali candaan yang dilontarkannya kepada pelanggan.
Seperti jika ada yang hendak membeli ronde untuk dibawa pulang (dibungkus), Mbah Paiyem selalu berucap tidak punya daun pisang.
"Aku ra ndue godong je, nak diplastik, gelem ora?" yang artinya "Saya tidak punya daun, jika dibungkus menggunakan plastik mau tidak?".
Wedang ronde adalah minuman tradisional Jawa yang saat ini banyak varian isinya.