Laporan wartawan Bangka Pos, Iwan Satriawan
TRIBUNEWS.COM, BANGKA - Dusun Sadap Desa Perlang Kecamatan Lubuk Besar Kabupaten Bangka Tengah tidak saja menawarkan eksotisme objek wisata Air Terjun Sadap.
Di wilayah ini juga dapat disaksikan kehidupan suku asli Melayu Bangka yang masih mempertahankan adat istiadatnya.
Salah satunya adalah rumah asli warga Melayu Bangka tempo doeloe berupa rumah panggung beratap daun nipah dan berdinding kayu kulit berlantai kayu.
Rumah berdinding kayu ini hingga tahun 80an masih bisa di temukan di perkampungan Pulau Bangka, namun kini sudah sulit ditemukan karena sudah berganti rumah beton permanen.
Kehidupan masyarakat tradisional Melayu Bangka yaitu berkebun lada juga masih dipertahankan masyarakat setempat.
A photo posted by Ruswanti Rusman (@iyusimawan) on Oct 3, 2015 at 6:29pm PDT
Disini hijaunya tumbuhan lada yang berbaris rapi di tiang perambatnya dapat disaksikan disepanjang perjalanan menuju air terjun Sadap.
Sekdes Perlang Haizir mengungkapkan warga Desa Perlang dan Dusun Sadap mayoritas berasal dari daerah Tua Tunu Pangkalpinang.
"Perlang ini memang unik, dari bahasa saja beda dengan orang Koba karena masih menggunakan bahasa Tua Tunu. Tapi uniknya kalau ada orang Koba datang kesini warga biasnya menyesuaikan dengan bahasa Koba," ungkap Haizir.
Ia mengisahkan awalnya penghuni Perlang berjumlah 10 orang KK yang datang dari Tua Tunu menyusuri pantai pada zaman penjajahan Belanda.
Mereka akhirnya berkebun dan menetap di wilayah Perlang.
"Disini ada lima suku dari mulai Madura, Flores, Jawa dan Melayu Bangka ada," jelasnya.
Masyarakat Melayu Bangka sendiri awalnya tidak tinggal di perkampungan seperti saat ini.
Mereka umumnya hidup berkelompok di hutan-hutan dan berpindah-pindah tempat untuk berkebun maupun berladang.
Perkampungan yang tersusun rapi seperti yang ada saat ini sendiri merupakan peninggalan penjajah Belanda pasca perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin Depati Amir tahun 1848-1851 silam.
Dari catatan Kepala Dinas Pendidikan Kota Pangkalpinang Ahmad Elvian disebutkan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang paling besar pengaruhnya bagi perbaikan kondisi dan masyarakat pribumi pulau Bangka setelah perang Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir (tahun 1848-1851), adalah dengan pembangunan jalan-jalan besar yaitu dari Kota Muntok melalui berbagai pusat distrik sampai ke Toboali, menempuh jarak sekitar 176 paal.
Kemudian dibangun jalan dari Distrik Pangkalpinang melintasi bagian utara dan paling lebar melalui kampung Bakam dan kampung-kampung yang baru saja dibuka ke Distrik Muntok dalam jarak 89 paal, selanjutnya dibangun juga jalan baru dari Distrik Pangkalpinang melalui bagian tengah ke Distrik Sungaiselan dalam jarak 26 paal yang dilanjutkan dari Distrik Sungaiselan menuju kampung Kurau dalam jarak 24 paal.
Jalan baru yang dibangun selanjutnya oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah dari kampung Bakam melalui kampung Layang ke Distrik Sungailiat dalam jarak 26 paal. Jalan-jalan yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda tersebut berada dalam kondisi yang sangat baik dan jalur jalan tersebut masih digunakan oleh masyarakat Bangka hingga sekarang.
Untuk memperlancar transportasi dari Distrik Pangkalpinang ke Distrik Merawang dan selanjutnya menuju Distrik Sungailiat, Pemerintah Hindia Belanda sesuai ketentuan dalam pasal 30 Lembaran Negara 1831 nomor 62, mulai membangun jalan baru dari Baturusa ke Distrik Pangkalpinang, yang jaraknya lebih diperpendek sekitar 43 paal dan diselesaikan pada tahun 1851.
Pemerintah Hindia Belanda juga membangun jalan-jalan setapak untuk mempermudah transportasi antar kampung yang ada di Distrik Pangkalpinang.
Kebijakan pembangunan jalan-jalan baru oleh Pemerintah Hindia Belanda diikuti dengan kebijakan memindahkan pemukiman penduduk yang awalnya terkonsentrasi pada daerah-daerah pedalaman hutan, ke kiri dan kanan jalan-jalan baru yang dibangun Belanda.
Pola ini mengubah pola pemukiman tradisional masyarakat Bangka dalam kelompok dengan konsep bubung dan arah mata angin (pemukiman masyarakat yang terdiri atas 10 hingga 40 bubung rumah atau pondok ume).
Konsep 40 bubung rumah sampai saat ini masih dipercayai dan diyakini masyarakat Bangka misalnya untuk mendirikan sholat Jumat sudah wajib dilaksanakan bila telah mencukupi 40 bubung rumah, kemudian apabila dalam satu kampung ada anggota kelompok yang melakukan perbuatan tabu (incase), maka akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut menjadi tanggungan sampai 40 bubung rumah.
Rumah pondok atau pondok ume merupakan karakter hunian yang berakar kuat pada masyarakat pribumi Bangka yang hidup berkampung atau berhimpun dalam konsep 10 hingga 40 bubung rumah.
Rumah penduduk pulau Bangka yang disebut pondok ume dibangun dengan arsitekturvernakuler, dibangun dalam pola mancapat searah mata angin.
Konsep 40 bubung sangat berakar kuat pada budaya orang Bangka, terutama pada orang darat yang bercirikan bentuk bangunan memanjang ke belakang dengan atap pelana (bubung gudang) dan kanopi (liper), terbuat dari material tumbuhan rumbia (atep rumbia) dan kulit kayu, lantai terbuat dari kayu (jerejak) yang berbentuk panggung sekitar 50-150 cm, terdiri zona bangunan muka dengan pintu dan jendela di sisi depan dan dapur di bagian belakang yang berdiri di atas tanah dan terdapat tangga kayu berjumlah ganjil (dengan hitungan tangga, tunggu, tinggal) di muka rumah.
Pembentukan kampung-kampung baru di sepanjang jalan Distrik Muntok ke Distrik Toboali terdapat 51 kampung termasuk 45 kampung yang baru dibuka atau dipindahkan dari tempat lain.
Dari jalan raya Pangkalpinang ke utara sampai ke kampung Bakam terdapat22 kampung termasuk 20 kampung baru. Dari jalan raya Pangkalpinang ke Distrik Sungaiselan terdapat 7 kampung termasuk 6 kampung baru.
Dari jalan raya Sungaiselan ke kampung Kurau terdapat 7 kampung baru dan 3 kampung lama, dan disepanjang jalan raya dari Bakam melalui kampung Layang ke Distrik Sungailiat terdapat 7 kampung baru dan 1 kampung lama.
Jumlah seluruh kampung yang terbentuk di sepanjang jalan raya yang dibangun pada akhir perlawanan rakyat Bangka, seluruhnya mencakup 98 kampung.
Pembangunan kampung tersebut diatur dengan ketentuan yaitu setiap tiga paaldibangun sebuah kampung kecil atau dusun yang dikepalai seorang Lngan atau kepala dusun dan setiap enam paal dibangun sebuah kampung besar yang dikepalai seorang Gegading atau kepala kampung.
Kampung kecil atau dusun terdiri atas 20 sampai 30 bubung rumah, dengan penduduk antara 80 sampai 100 jiwa, kemudian kampung besar terdiri atas 40 sampai 60 bubung rumah dengan penduduk berkisar antara 150 sampai 200 jiwa.
Pemukiman penduduk di kampung yang baru dibangun ditempatkan dengan cara berderet dan berbaris mengikuti ruas jalan.
Rumah-rumah penduduk tersebut selanjutnya disatukan oleh sebuah balai, biasanya tipe kampung yang dibentuk selalu mencari wilayah yang ada sumber mata air, ladang rumbia dan di pertengahan kampung dibangun surau atau masjid serta dibagian ujung kampung dijadikan sebagai lokasi perkuburan.
Balai yang dibangun di kampung selain dipergunakan untuk mengawasi kondisi kampung-kampung, juga dipergunakan untuk pos-pos titik henti pegawai-pegawai dan Opas Pemerintah Belanda serta para pekerja yang mengangkut dan mendistribusikan barang-barang komoditi pada masa itu.
Sementara itu ladang-ladang padi milik penduduk masih tetap berada di pedalaman hutan yang jauh dari pemukiman atau di belakang pemukiman. Biasanya penduduk mengerjakan ladang dan tinggal di pondok yang disebut pondok ume selama beberapa hari.
Penduduk biasanya pulang pada hari Jumat untuk melaksanakan ibadah sholat Jumat berjamaah di kampung. Situasi kampung juga akan ramai bila perayaan hari besar keagamaan dan acara pernikahan yang biasanya dilakukan setelah selesai musim panen padi di ladang atau ume.
Pemerintah Hindia Belanda juga berusaha untuk memisahkan pemukiman penduduk pribumi Bangka dengan pemukiman pekerja-pekerja tambang dari Cina. Umumnya pekerja-pekerja tambang tinggal dan membentuk perkampungan sendiri dibekas penambangan timah.
Beberapa perkampungan Cina yang didirikan dibekas penambangan timah masih kita temukan di pulau Bangka hingga sekarang seperti kampung Cina yang ada di Kota Pangkalpinang yaitu kampung Nai si fuk(kampung Bintang), kampung Yung fo hin(kampung Semabung), kampung Sung sa ti(kampung Pasirputih), Parit Lalang dan kampung Si luk yang berarti tambang nomor 46.
Pemerintah Hindia Belanda juga menempatkan pemukiman orang-orang Cina di ujung atau di pinggir agak ke dalam dari perkampungan penduduk pribumi karena umumnya orang Cina di samping berkebun sayuran, menanam Kelapa, berkebun lada dan beternak Babi.
Pembentukan kampung-kampung bentukan Hindia Belanda terus berkembang dan pada tahun 1896 tercatat sekitar 2.000 rumah terbangun dan terkonsentrasi di kiri dan kanan jalan pada perkampungan-perkampungan yang tersebar di pulau Bangka.
Perkampungan dan jalan bentukan Belanda merupakan prototipe kampung-kampung dan jalan-jalan yang ada di pulau Bangka hingga saat ini.
Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda setelah perang Bangka menyebabkan perubahan yang mendasar pagi penduduk pulau Bangka yaitu terjadinya proses interaksi, sosialisasi, asimilasi dan akulturasi antar etnic group yang ada dan kemudian melebur dalam satu identitas (smelt port society) sehingga membentuk orang Bangka seperti yang kita kenal sekarang.
Pemerintah Hindia Belanda merasa berhasil dalam penataan pulau Bangka setelah perang Bangka. Residen Bangka dalam laporannya pada tahun 1853 dengan bangga menyebutkan pulau Bangka sebagai salahsatu keresidenan yang paling teratur (regelmatig) dari seluruh koloni Belanda.