Dalam tradisi ini, disajikan makanan-makanan berukuran kecil sekali suap yang kemudian kita kenal sebagai dimsum. Boleh dikatakan, dimsum juga semacam tapas dalam tradisi kuliner Spanyol.
Dahulu, kedai-kedai teh yang terdapat di sepanjang jalur sutra kerap menyajikan penganan dimsum sebagai pengganjal perut para pelancong sembari beristirahat melepas lelah.
Di era modern, di kawasan selatan Tiongkok, yum cha dengan makan dimsum menjadi tradisi akhir pekan keluarga.
Dimsum secara garis besar terdiri dari penganan semacam pangsit yang dimasak dengan cara dikukus, roti-rotian berukuran kecil, goreng-gorengan ataupun panggang, dan lumpia.
Beberapa macam dimsum yang cukup akrab dikenali, misalnya, har gau atau pangsit udang, shumai atau yang biasa kita sebut siomay, cha siu bao atau roti semacam bakpau, dan cheong fun yang semacam lumpia dengan isian udang, ayam, ataupun jamur.
Di Indonesia, ketiganya sudah cukup akrab dikenal masyarakat sebagai jajanan yang berdiri sendiri, terlepas dari payung dimsum atau yum cha. Keberadaan jajanan itu menunjukkan peleburan tradisi kuliner Tionghoa dalam masyarakat Indonesia.
Selain kategorisasi menu di atas, kerap muncul juga penganan berupa ceker ayam yang dikukus empuk dengan borehan saus soya yang gurih asin. Di Tim Ho Wan, kaki-kaki ayamnya cukup montok dengan bergelimang saus kecoklatan yang gurih.
Daging kaki ayam yang termasak empuk, tetapi tak sampai rapuh itu membuat kita mudah menikmatinya. Cukup sorongkan sebagian kaki ayam ke dalam mulut, sesap dan lucuti dagingnya dengan lidah, lalu relakan sisa tulang belulang kecil yang telah bersih berpulang kembali ke piring Anda. (Sarie Febriane/ Harian Kompas)