Laporan Wartawan Tribun Jogja, Hamim Thohari
TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Sebagai kuliner tradisional, keahlian meracik gudeg biasanya didapatkan secara turun temurun.
Cara masak, bahan baku, dan bumbu-bumbu dipertahankan dari generasi ke generasi untuk mempertahankan citarasa gudeg, seperti yang dilakukan oleh Mulyani (39).
Perempuan yang akrab disapa Yani tersebut adalah generasi ketiga yang saat ini meneruskan usaha gudeg Bu Djoyo yang berada di jalan Gedongkuning No.142, Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul.
Gudeg Bu Djoyo yang berada di jalan Gedongkuning No.142, Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.
"Berjualan gudeg ini telah dimulai sejak simbah dulu. Simbah yang bernama Mbah Karyo berjualan gudeg sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia," ungkap Yani menceritakan.
Kemudian usaha tersebut diteruskan oleh ibunya yang bernama Bu Djoyo.
Dengan nama Bu Djoyo tersebutlah kemudian gudeg yang satu ini dikenal luas masyarakat Yogyakarta.
Sebelum menetap di lokasinya yang sekarang, gudeg ini dijajakan di beberapa tempat, seperti di pasar Sentul, Gedongkuning, hingga depan Puskesmas Umbulharjo.
"Dulu ibu sama simbah jika berjualan gudeg pada pagi hari. Tetapi mulai sekitar tahun 2000-an kami mulai berjualan dari sore hingga malam hari," ujar Yani.
Cantiknya penyajian Gudeg Bu Djoyo yang berada di jalan Gedongkuning No.142, Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.
Gudeg yang dijual di warung Bu Djoyo ini adalah jenis gudeg basah dengan cita rasa dominan gurih dan tidak terlalu legit.
Sebagai pendamping gudeg adalah sayur krecek dengan citarasa yang pedas.
Dan yang tidak boleh ketinggalan adalah areh dari santan kelapa berwarna kecoklatan yang gurih.
Pembeli bisa memilih aneka lauk, seperti telur, tahu, daging ayam, dan ati ampela. Beragam lauk tersebut membuat citarasa gudeg semakin nendang.
"Untuk ayam nya kami menggunakan ayam kampung, agar rasanya lebih gurih," tambah Yani.