TRIBUNNEWS.COM, LAMPUNG - Ada sekitar 250 gajah liar dan 66 gajah jinak yang tinggal di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur.
Sebagian gajah jinak dipilih menjadi gajah patroli penghalau konflik gajah-manusia.
Mereka tergabung dalam Elephant Respons Unit (ERU).
Gajah patroli penghalau konflik biasanya merupakan gajah jantan bertubuh besar.
Mereka dipilih untuk menakuti gajah-gajah liar yang melintas keluar batas kawasan taman nasional hingga merusak perladangan warga.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO - Gajah mendapatkan suplemen di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur.
Tugas patroli dilakukan sore hari.
Satu gajah jinak ditunggangi dua orang mahout (pawang).
Mahout yang bertugas mengendalikan laju gajah duduk di bagian tengkuk, sedangkan pawang yang bertugas sebagai pemantau berdiri di punggung gajah.
Saat mengusir gajah liar yang keluar kawasan, tak jarang gajah harus berlari dengan kecepatan sekitar 60 kilometer per jam.
Petasan menjadi satu-satunya senjata yang digunakan oleh para mahout untuk menakut-nakuti dan mengusir gajah liar.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO - Patroli mencegah konflik gajah dengan manusia di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur.
Gajah-gajah liar kerap masuk ke desa-desa di sekitar Taman Nasional Way Kambas. Dari 37 desa di sekitar Taman Nasional Way Kambas, sebanyak 23 desa rawan konflik gajah-manusia.
Dalam satu tahun, setidaknya ada 600 kasus konflik gajah-manusia.
Konflik itu membuat ladang singkong, jagung, dan padi milik warga rusak terinjak gajah.
Tak hanya kerugian material, konflik juga pernah menelan korban jiwa.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO - Membersihkan luka kaki gajah di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur.
Sejak tahun 2011 hingga saat ini, tercatat dua gajah mati dan dua warga tewas akibat konflik gajah-manusia.
Keberadaan gajah patroli penghalau konflik sangat dibutuhkan untuk menekan kerugian material dan mencegah jatuhnya korban jiwa, baik di pihak gajah maupun manusia. (Kompas/Angger Putranto)