TRIBUNNEWS.COM, BANJARMASIN - Pria asli Bolivia, Amerika Selatan ini, telah berkeliling ke banyak negara.
Namanya Flores Wilberto, biasa disapa Robito.
Dia seorang pemusik yang kerap tampil membawakan musik tradisional suku Indian di banyak negara.
Nama panggungnya adalah Phawak.
Musik yang dibawakannya adalah musik asli suku Indian dari Peru, Bolivia dan Ecuador.
Pada Selasa (12/4/2016) siang, dia tampil di Duta Mall, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Nama Phawak dalam bahasa asli di Bolivia berarti meninggalkan kampung halaman di usia muda, seperti yang dilakukannya.
Sekarang dia berusia 43 tahun dan sejak bertahun-tahun silam dia telah berkeliling dunia bersama seperangkat alat musik tradisional Indian yang kerap dipakainya saat manggung.
Selama pengembaraannya, dia telah berkeliling ke lebih dari 50 negara.
“Saya dulu tinggal di Eropa selama lima tahun. Saya telah berkeliling di banyak negara selama di sana. Eropa, Asia, Swiss, Filipina, Thailand, Austria, Taiwan dan banyak lagi pernah saya kunjungi,” ungkap pria yang Bahasa Inggrisnya sangat kental logat Bolivia ini.
Di Eropa, dia tampil di berbagai tempat, dari jalanan, plaza hingga kolam renang, dan masih banyak lagi.
Musik Indian telah membawanya ke banyak tempat di dunia ini.
Bepergian ke berbagai tempat, jalan-jalan sembari tampil, telah membuat jiwanya kaya.
Aksi Robito alias Phawak memainkan alat musik tradisional Bolivia di Duta Mall, Banjarmasin. (BANJARMASIN POST/ YAYU FATHILAL)
“Saya senang bisa berkeliling dunia. Bepergian ke banyak negara membuat saya bisa melihat berbagai masyarakat yang berbeda dengan kebudayaan yang bermacam-macam, pola pikir mereka yang beragam. Traveling around the world makes my soul rich (bepergian keliling dunia membuat jiwa saya kaya),” ungkap pria yang sekarang memilih menetap di Malang, Jawa Timur ini.
Selama berkeliling dunia, dia mengaku jarang mengalami kesulitan apa pun.
Kendati begitu, terkadang ada saja sedikit sandungan yang dihadapinya terutama sekali soal keimigrasian.
Hal itu terjadi sudah lama sekali karena negaranya dulu bukanlah negara yang terkenal di dunia ini, khususnya di Benua Amerika.
“Before, a lot, ya. My country before, nobody knows (Sebelumnya, sering. Negara saya sebelumnya tak ada yang tahu),” ungkap pria berambut lurus yang tak bisa berbahasa Indonesia ini.
Dulu, jika mendengar nama Amerika, pikiran kebanyakan orang adalah orang-orangnya berkulit putih.
Mereka lebih dikenal di dunia dibandingkan penduduk aslinya, yakni suku Indian yang sekitar 80 persen mendiami Bolivia.
Kondisi perpolitikan di negaranya yang membuat orang-orang Indian seakan terpinggirkan dan kaum kulit putih itu seperti tak pernah menginginkan orang-orang Indian berkembang, membuatnya kerap kesulitan berurusan di imigrasi saat hendak berkeliling dunia.
Namun sekarang keadaan sudah berubah seiring dengan seringnya sudah dia berhadapan dengan petugas-petugas imigrasi tersebut.
Terlebih lagi, kualitas musik yang ditampilkannya kerap membuat penonton berdecak kagum.
Mendengar suara alunan musik khas Indian dari seruling, dan beberapa alat musik lainnya yang dimainkannya, seakan penonton terbawa-bawa ke alam pegunungan nan tenang dan teduh.
Suara musik yang dihasilkan dari alat musik Indian semacam peluit saat ditiupnya terdengar bagai kicauan merdu burung-burung yang beterbangan dengan bebas melintasi hutan dan pegunungan.
Belum lagi, sesekali mulutnya mengeluakan suara-suara khas teriakan suku Indian, membuat para pengunjung mal ini kian terkagum-kagum.
Robito alias Phawak, pria asal Bolivia yang keliling dunia ke 50 negara hingga akhirnya terdampar di Indonesia berbekal alat musik mirip seruling khas Bolivia. (BANJARMASIN POST/ YAYU FATHILAL)
Dia mengaku sangat menikmati hidupnya, bermusik sembari berkelana.
Selama di Indonesia, dia bersama istrinya yang orang asli Malang dan kedua anaknya telah sering pula travelling ke banyak kota di negara ini.
“Medan, Jawa, Bali, Banjarmasin, Banjarbaru, Samarinda, Makasar, sudah semua. Kami keluarga penyuka traveling. Yang paling saya suka adalah melihat pemandangan-pemandangan alam yang indah,” ucapnya.
Selama di Indonesia dia merasa betah karena perawakan orang-orangnya tak jauh berbeda dengan di negaranya seperti warna kulit dan pemikiran mereka. (Yayu Fathilal)