Tak butuh pengawet untuk meraciknya, Eman percaya kandungan cengkih di dalamnya dapat berfungsi juga sebagai pengawet alami, walaupun hanya tahan dua hari.
Eman pun mempertontonkan aksinya membuat bir kepada KompasTravel dan pembeli lain.
Bak bartender ia memainkan alat serupa dengan gayung alumunium yang dalam, mengaduk atau mengocok sari-sari rempah sehingga keluar buih putih dari airnya.
Setelah buih dirasa cukup, barulah Eman menuangkan ke gelas besar.
Buih pun meluap keluar tampak seperti bir sungguhan yang dikocok oleh bartender, tapi yang ini bertuliskan alkohol nol persen dan akan membuat badan hangat.
Ia mengatakan busa yang dihasilkan berasal dari cengkeh bertemu kayu manis yang dikocok bersama es batu.
Sepintas terlihat serupa dengan bir pletok khas betawi.
Namun, Eman menjelaskan perbedaannya ada di bahan rempah yang digunakan, juga tidak menggunakan secang dan kapulaga.
KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia - Menurut Eman, yang merupakan pewaris generasi ketiga resep tradisional ini mengatakan awal mula bir tersebut sejak tahun 1948.
Walaupun disajikan dengan es batu, khasiat minuman tersebut tetap terasa hangat di tenggorokan saat KompasTravel mencobanya.
Terkadang ada pula yang membeli tanpa es batu.
Saat KompasTravel mencobanya lagi, sama hangatnya namun tidak bisa menimbulkan buih seperti bir.
“Kalau hujan rame orang yang neduh terus minum, tapi kalau cuaca panas juga rame, banyak yang kehausan,” ujarnya sambil tertawa.
Kali ini ia bir kotjok keluarganya dijual oleh Eman dan adiknya.
Untuk menemuinya, Anda dapat berkunjung ke Jalan Suryakencana, tepatnya setelah perempatan Gang Aut, sebelah kiri jika ke arah puncak.
Sedangkan adiknya berjualan di ujung Jalan Roda, Kelurahaan Babakan Pasar, tak jauh dari sana.
Eman dan adiknya berjualan mulai pukul 09.00, dan pulang sekitar pukul 17.00 WIB atau lebih awal karena habis terlebih dahulu.
Tiap satu gelasnya dijual seharga Rp 5.000.
Kompas.com/Muhammad Irzal A