"Pindah-pindah ruko. Soalnya pembelinya banyak, terus saat akan perpanjang kontrak, oleh pemiliknya tidak boleh," kata Subari.
Lelah mencari ruko, akhirnya sang ayah memutuskan untuk kembali berjualan sate dengan menggunakan lokasi yang dulu digunakan oleh Mbah Ambyah.
Namun, karena sudah dibangun pasar, maka Ayahnya menyewa los (kapling pasar) untuk berjualan.
"Aku setiap hari membantu jualan, sejak mulai umur 15 tahun," katanya.
Dari membantu itulah, perlahan-lahan sang ayah menurunkan ilmu resep warisan mengolah sate kepada Subari.
Mulai dari memilih kambing untuk bahan sate sampai dengan cara membakarnya.
"Kambingnya tidak boleh asal pilih, muda antara umur 8 bulan sampai 9 bulan. Harus gemuk, karena yang gemuk tidak banyak berotot," tuturnya.
Baru tahun 1992, usaha sate diteruskan oleh Subari. Meski tetap mempertahankan resep warisan namun ia mengubah nama dengan sebutan Sate Klatak.
Ide ini, lanjut Subari, awal mulanya di sela-sela membantu berjualan sate, dirinya sering mencari biji melinjo untuk dijual.
Uang hasil menjual mlinjo itu digunakannya untuk tambahan uang saku sekolah.
Suatu ketika, Subari menempelkan biji melinjo di daging sate kambing yang dibakarnya.
Daging melinjo di Imogiri sering disebut klatak. Dari situlah ia mulai menamai sate klatak.
"Ya aku tempelkan saja, tidak ada rasanya. Dari situ namanya jadi sate klatak," bebernya.
Nama itu pun akhirnya menjadi magnet bagi para pembeli.