TRIBUNNEWS.COM - Di pulau seluas 1.800 km2 ini pernah berkecamuk perang besar pada tahun 1945.
Setelah 65 tahun berlalu, Morotai seperti jadi saksi bisu, menyisakan tujuh landasan yang pernah digunakan Jenderal MacArthur untuk menggilas Jepang.
Tidak sulit untuk mengunjungi Pulau Morotai dari Jakarta.
Memang tidak ada penerbangan langsung ke pulau yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik ini.
Pengunjung harus transit di Ternate sebelum melanjutkan perjalanan 50 menit ke Morotai menggunakan pesawat.
Dari Jakarta penerbangan ke Ternate dilayani oleh Garuda Indonesia, Lion Air, Batavia Air, dan Sriwijaya Air.
Akhir tahun 2010, Angkasa mengunjungi pulau penuh sejarah ini.
Sesaat sebelum C212 yang kami tumpangi mendarat di landasan 09, pilot pesawat C212-200 milik Merpati, Captain Dicky Harsa memanggil Angkasa ke kokpit. “Belum pernah kan duduk di kokpit saat mendarat di Morotai,” ajak Captain Dicky.
Landasan di Morotai dari kokpit C212. Sumber gambar: Beny Adrian.
Selain menawarkan duduk di kokpit, Captain Dicky dan kopilotnya Captain Shafril Anwar sebenarnya ingin memperlihatkan tujuh landasan (runway) yang ada di Morotai.
Memang samar-samar, namun dari kokpit masih bisa diidentifikasi garis-garis lurus yang memisahkan setiap runway.
Saat itu TNI AU hanya mengaktifkan satu runway (09-27, barat-timur) untuk take off-landing dengan panjang 2.700 m dan lebar 45 m.
Satu runway di sisinya hanya digunakan sepertiganya untuk parkir pesawat.
Jika melihat hasil foto udara yang pernah dibuat TNI AU dari pesawat C212 Skadron Udara 4, total panjang landasan ini mungkin mencapai 3.000 meter.
Tak heran karena semasa Perang Pasifik, Morotai didarati ratusan pesawat.
Seperti pada November 1944 ketika tiga landasan selesai dibangun, terparkir 253 pesawat termasuk 174 pembom berat.
Landasan pertama sepanjang 1.500 meter mulai dibangun pada 23 September dan diberi nama Wama Drome.
Landasan ini digunakan pembom berat saat menyerang Balikpapan.
Menurut Wikipedia, pembangunan tahap kedua dengan landasan lebih panjang dan memiliki dua landasan paralel dengan Wama Drome, dimulai awal Oktober.
Nah, landasan sepanjang 2.100 meter inilah yang diberi nama Pitoe Drome oleh Sekutu.
Tidak jelas apakah Pitoe ini dikutip dari bahasa Jawa yang berarti tujuh, sehingga diyakini di Morotai terdapat tujuh landasan.
Dari analisa foto yang coba Angkasa lakukan, sepertinya terdapat tiga landasan utama dengan lima area parkir plus taxiway.
Saat itu hanya dua penerbangan yang melayani Morotai yaitu Merpati dan TNI AU, dan sekarang sudah ada Wings Air sejak Merpati berhenti operasi.
Pesawat C-130 Hercules TNI AU menyinggahi Morotai dua kali dalam sebulan dalam misi PAUM ke Papua.
Penerbangan ini dilaksanakan khusus untuk melayani kebutuhan personel dan logistik TNI.
Namun karena kemampuan Hercules yang andal, sering pula dimanfaatkan Pemda Papua untuk mengirim logistik ke daerah terpencil.
Perkuat Morotai
Posisinya yang strategis menjadikan Morotai ideal sebagai pijakan Sekutu untuk menyerang Jepang di Filipina.
Nilai strategis ini pula yang dipahami oleh setiap Komandan Lanud Morotai sehingga tanpa ragu selalu menginginkan jika TNI AU memperkuat Lanud Morotai sebagai pangkalan terdepan.
Saat ini kondisi Lanud Morotai memang masih jauh dari memadai.
Namun seiring diresmikannya Kabupaten Pulau Morotai oleh Mendagri pada 29 Oktober 2008 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara, kondisi ini tentu harus dibenahi.
Karena jika penerbangan dari Morotai ke Ternate berlangsung lancar, roda perekonomian dan pemerintahan di Morotai akan berjalan efektif.
Jika melakukan perjalanan ke Ternate menggunakan moda angkutan laut, dibutuhkan waktu sekitar delapan jam.
“Banyak hal harus dibenahi jika ingin menjadikan lanud sebagai pintu gerbang Morotai,” ujar Mayor Lek Damar Hari Sadewo, komandan Lanud Morotai saat itu.
Keamanan penerbangan juga belum terjamin karena tidak tersedianya pagar pembatas.
Alhasil di setiap take off-landing pesawat, pihak lanud menempatkan personelnya di ujung landasan untuk berjaga-jaga jika ada babi melintas.
Personel ini dilengkapi senapan G3 dan biasa disebut sniper.
Sesuai rencana Mabes TNI AU, di Morotai akan ditempatkan satu unit radar untuk menjaga wilayah udara Indonesia.
“Rencananya di Teluk Sopi, kami sudah survei lokasinya,” kata Sadewo. Sofi berada di titik paling utara dari Morotai.
Anggota TNI AU berjaga dengan senapan G3 di setiap kedatangan dan keberangkatan pesawat. Sumber gambar: Beny Adrian
Selain memaksimalkan Morotai sebagai pangkalan terdepan, tak kalah kondusifnya mengembangkan wisata perang.
Di pulau ini masih bisa dijumpai bangkai-bangkai kendaraan, tank, persenjataan, dan kapal perang Sekutu. Lima deretan dermaga yang dikenal sebagai army dock, juga masih bisa dikenali.
Tak jauh dari ujung runway 27, juga masih utuh situs Air Kaca, yang dipercaya sebagai tempat permandian Jenderal MacArthur.
Dengan menumpang speed boat ke arah barat dari lanud, kita juga bisa menjumpai Pulau Sumsum.
Dari pulau berpasir putih ini diyakini MacArthur mengendalikan pasukannya. Oleh pemerintah Indonesia dibangunkan tugu MacArthur, meski di pulau ini tidak ditemukan peninggalan Sekutu.
Situs Air Kaca tempat permandian Jendela MacArthur. Sumber gambar: Beny Adrian
Begitulah Morotai, pulau yang luasnya melebihi Singapura namun memiliki landasan terbanyak di dunia ini, terabaikan dari pembangunan.
Jika MacArthur memilih pulau ini untuk alasan perang, kenapa kita mengabaikannya?
Penulis: Beny Adrian
Sumber: Angkasa