Namun, hal itu tak terjadi pada suku Sherpa. Setelah berabad-abad hidup pada ketinggian tinggi, populasi suku Sherpa di Himalaya telah berevolusi untuk menguasai kemampuan untuk bertahan hidup dalam ketinggian.
"Anda akan melihat bahwa mereka sama sekali tidak terpengaruh (terhadap tipisnya oksigen)," kata Levett.
Pada tahun 2013, Levett bersama rekannya berangkat dengan 180 relawan. Jumlah tersebut terdiri atas 116 orang dari dataran rendah dan 64 Sherpa menuju untuk Everest Base Camp.
Relawan dites secara fisik dan biologis untuk mengidentifikasi perbedaan fisik sebelum dan selama pendakian menuju ketinggian 5.300 meter di atas permukaan laut.
Pemanfaatan oksigen
Levett mempresentasikan temuan penelitian terhadap suku Sherpa dalam World Extreme Medicine Expo in London bulan lalu.
Ia mengidentifikasi perbedaan bagian sel manusia yang berfungsi untuk menghasilkan energi atau yang dikenal sebagai mitokondria.
"Mitokondria pada suku Sherpa lebih efisien dalam menggunakan oksigen. Sel mereka seperti mobil yang irit bahan bakar. Anda bisa mendapat energi dari oksigen yang minim," jelasnya Levett.
Tim mempelajari pembuluh darah di bawah lidah dan lokasi lain di tubuh untuk memantau sirkulasi udara di organ-organ lain. Proses itu disebut mikrosirkulasi.
Bentuk sirkulasi darah ini berada di pembuluh darah terkecil dan melihat bagaimana oksigen mampu mencapai otot, jaringan, dan organ hingga tubuh manusia bisa bekerja.
"Kecepatan ini lebih tinggi di mana darah dapat mengalir di sekitar memungkinkan Anda untuk memberikan lebih banyak oksigen ke jaringan yang lebih cepat," ujar ahli transplantasi ginjal di Rumah Sakit Universitas Coventry dan Warwickshire, Inggris, Chris Imray yang berangkat bersama Levett dalam ekspedisi ilmiah ini.
Levett mengatakan temuan ini menjadi penelitian pertama yang membahas perbedaan fisiologis dan dapat menjelaskan kemampuan suku Sherpa di ketinggian.
Ia menyebut studi-studi lain telah meneliti perbedaan genetik pada suku Sherpa. Hal itu akan diteliti oleh tim Levett berikutnya.