Keramahan penduduk yang keluar dari rumah-rumah apungnya pun menyapa wisatawan yang ada di kereta.
Meski lokomotif diesel, kepulan asap tebal yang membubung ke langit tetap banyak, dan membuat kesan “klasik” makin terasa. Ditambah gerbong yang masih orisinil, sehingga terasa goyangan-goyangan alami saat kereta melintasi trek tertentu.
“Suspensi kereta masih sangat manual dan jadul, belum ada peredam seperti sekarang. Maklum sudah berumur 104 tahun, tapi masih sangat layak untuk wisata,” ujar Sudono.
Ia menjelaskan, bahwa gerbong tersebut dibuat tahun 1912, terbuat dari jati asli dan sampai sekarang masih utuh belum ada reparasi penggantian.
Pada masa kejayaannya, gerbong bernomor Cr 72-1 ini beroperasi untuk kereta kelas tiga atau ekonomi, tujuan Semarang-Yogyakarta.
Di ujung gerbong pun terdapat papan penjelasan yang masih asli dengan bahasa Inggris, bertuliskan panjang 9 meter, berat 8,2 ton, total muatan mencapai 2,5 ton. Memiliki total 40 kursi berbahan jati yang berjajar rapi saling berhadapan.
Sesampainya di Stasiun Tuntang, wisatawan diizinkan turun untuk berfoto, ke kamar kecil maupun jalan-jalan di stasiun tua tersebut, sembari menunggu lokomotif menukar posisinya ke depan.
Sudono menjelaskan, bahwa jalur Ambarawa-Tuntang sendiri dibangun pada tahun 1867, dan pada 1901 diteruskan ke Yogyakarta. Sempat berhenti di tahun 1980-an, dan mulai direaktifasi pada tahun 2002 untuk wisata.
Untuk mencobanya, wisatawan dapat membeli tiket tiap akhir pekan langsung di Museum Kereta Ambarawa. Dengan tarif satu perjalanan Rp 50.000. Terdapat tiga kali perjalanan dalam satu hari yakni pagi, siang, dan sore hari.