TRIBUNNEWS.COM - Bandara Utarom yang terletak di Kaimana, Papua Barat usianya sudah lebih tua dari usia Republik ini.
Namun hingga sekarang, keadaanya masih belum memadai. Namun begitu, pengelola bandara dari Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Ditjen Perhubungan Udara menolak untuk kalah.
Pembenahan terus dilakukan hingga sekarang mempunyai gedung terminal yang megah.
Eks Jepang
Kaimana, kota kabupaten di Papua Barat ini sejak dulu menjadi rebutan penjajah.
Pantainya yang indah dangan teluk yang tenang serta lokasinya yang strategis membuat Belanda, Jepang dan Sekutu mengincarnya untuk menjadi salah satu landasan acu untuk menguasai daerah di Pasifik hingga Australia.
Adalah Jepang yang mulai merintis pembangunan bandar udara di daerah ini pada tahun 1942.
Bala tentara Jepang merintis pembangunan bandara untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Saat itu Jepang sudah siap ekspansi ke Pasifik Selatan, Papua Nugini dan Australia.
Untuk pembangunan bandara ini, Jepang mendatangkan romusha dari pulau Jawa dan dari daerah sekitar Kaimana sendiri.
Demi mempercepat pembangunan, berbagai paksaan, tekanan, pukulan, ancaman dan pembunuhan dilakukan oleh tentara Jepang terhadap para pekerja paksa tersebut.
Tanah berawa ditimbuni, kayu ditebangi dan diangkut semua hanya mengandalkan tenaga manusia.
Orang-orang dari Jawa diawasi langsung oleh tentara Jepang. Sedangkan orang Papua/ Kaimana yang bekerja diawasi langsung oleh raja mereka yaitu Raja Kumisi IV Achmad Aiturauw.
Sang Raja turun tangan mengawasi sendiri rakyatnya setelah melihat para tentara Jepang menyiksa pekerja-pekerja itu.
Di bawah pengawasan sang Raja, pekerja rodi asal Papua tersebut memperoleh perlakuan yang lebih baik.