TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Sanur International Kite Festival yang akan digelar 3-8 Agustus 2017 adalah salah satu program dari Sanur Village Festival (SVF) yang memadukan seni, aerodinamika, budaya, termasuk filosofi, sejarah dan imaji inovatif.
Program yang dirancang bersamaan dengan datangnya angin muson serta agenda SVF, menjadikan peristiwa ini menyatu antara alam dan agenda perayaan masyarakat Sanur.
Sanur telah lama dikenal sebagai desa terkemuka dalam dunia layang-layang. Layangan tradisional dan kontemporer yang menggunakan beragam bahan, dari bentuk baku sampai terbaru serta mengekplorasi isu-isu kekinian, baik dalam tradisi budaya sampai kehidupan masa kini.
Namun yang tak kalah menggugah adalah penerjemahan tema Sanur Village Festival 2017 “Bhinneka Tunggal Ika” akan diterbangkan ke angkasa raya.
Lebih dalam lagi kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular sebagai dasar pijakan Bhinneka Tunggal Ika menjadi kerangka yang mewadahi festival yang dibandrol dalam Save Our Culture.
Sanur International Kite Festival 2017 diikuti peserta dari 26 negara yang akan berpartisipasi dalam sebuah kegiatan bersama di angkasa maupun dalam ruang dialog.
Tampaknya festival layang-layang SVF telah melangkah pada fase menuju lengkapnya program berstandar internasional.
Pada momen ini juga digelar workshop, seminar, serta dialog peserta nasional maupun internasional. Peristiwa ini akan menjadi catatan sejarah, bahwa SVF mampu menyelenggarakan sekaligus menempatkan Sanur sebagai sirkuit festival layang-layang dunia.
Tampilan layang-layang di SVF selalu mengalami perubahan. Kerja kreatif para kreator baik lokal, nasional maupun internasional selalu memberikan ciri khas sesuai tema-tema yang disodorkan panitia.
Layang-layang tradisional baik khas Sanur maupun pada umumnya seperti bebean, pucukan, dan janggan tetap dipamerkan serta dikompetisikan, termasuk karya inovatif dan kontemporer.
Sedangkan layang-layang, para peserta nasional tahun ini lebih disuguhkan pada figur-figur tokoh wayang kulit sebagai upaya mempertajam bahasa visualnya. Bima, Kresna, Hanoman, Gatotkaca, Dasamuka hingga punakawan disuguhkan sebagai penghormatan tradisi budaya luhur yang berbicara secara universal.
Figur wayang tidak lagi terkesan memiliki jarak seperti pada kelir, karena komposisi secara visual cenderung mengikuti ruang aerodinamis yang simetris, serta tampil dengan komposisi yang lebih bebas pada langit biru.
Layang-layang ini memang mengolah figur-figur wayang, tapi karena langit sebagai kelir dengan jarak pandang yang cukup jauh, maka ukuran wayang telah berubah dari pakem sebenarnya.
Jadi apakah yang melatar belakangi kesemuanya ini? Kadek Armika, kreator sekaligus master layang-layang Sanur mengatakan Sutasoma dengan filosofi luhur sebagai bingkai pameran layang-layang merupakan upaya menghadirkan kembali memori kultural dengan prinsip keseimbangan yang merupakan salah satu ciri budaya luhur kita.