Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah dan tersebar dari Miangas hingga Pulau Rote, satu diantara begitu banyaknya kekayaan alam itu adalah buah lokal yang memiliki kemiripan dengan 'keluarga berry'
Buah yang disebut 'Kerben' ini memang belum banyak diketahui orang, namun bentuknya menyerupai strawberry dan memilki warna seperti raspberry.
Perlu diketahui, buah ini bukan merupakan jenis buah yang langka, namun tidak terlalu mudah untuk menemukannya.
Kerben tumbuh sangat subur di ladang penduduk yang terletak di Desa Suko Pangkat, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Koordinator Divisi Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Sukmareni mengatakan sebagian besar ladang penduduk tersebut berada di kawasan hutan.
Warsi merupakan organisasi non-pemerintah (NGO) yang dibentuk karena kesamaan pandangan sejumlah aktivis lintas aliram dan genre untuk merespons fakta pengelolaan sumber daya alam.
Terkait ladang tersebut, untuk legalitas masyarakat dalam mengelola ladang yang sangat dekat dengan pemukiman itu, kata dia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak 2018 menerbitkan SK Perhutanan Sosial untuk 4 kelompok pengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm), yakni Sungai Kuning, Gunung Pua, Sungai Batu Lebar, dan Gunung Bujang.
Baca juga: Ayam, Tahu dan Tempe Milik Pedagang Nasi Uduk di Jambi Dirampas Puluhan Orang Bersenjata TajamĀ
Legalitas ini membuat masyarakat setempat dapat mengelola hutan sambil tetap mempertahankan kearifan lokal mereka.
"Masyarakat Desa Suko Pangkat mengelola hutan tersebut dengan menerapkan kearifan lokal, yaitu menggunakan sistem agroforestry. Dengan sistem agroforestry, masyarakat tidak membuka hutan sebagai lahan terbuka.
Mereka menanam kopi dan kayu manis yang masuk dalam tanaman kehutanan," kata Sukmareni, dalam rilisnya, Kamis (14/10/2021).
Ia kemudian menambahkan, sebenarnya fungsi hutan itu mirip seperti hutan alam dan tersambung dengan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
"Dengan begitu, pengelolaannya bernilai konservasi. Inilah yang membuat kami terus berupaya mencari peluang ekonomi baru bagi masyarakat Suko Pangkat, agar tekanan terhadap hutan berkurang," jelas Sukmareni.
Hingga kemudian akhirnya muncul gagasan untuk membuat selai kerben sebagai salah satu alternatif sumber ekonomi bagi masyarakat setempat.
"Selai kerben dan hutan yang dikelola dengan baik, akan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk masyarakat Suko Pangkat dan sekitarnya," papar Sukmareni.
Nah, untuk menyambut Hari Pangan Sedunia yang jatuh tiap 16 Oktober, penting bagi kita untuk mengetahui tentang buah yang terlihat seperti perpaduan strawberry dan raspberry ini.
1. Tumbuh liar di kawasan pegunungan
Tanaman kerben tidak memerlukan perawatan khusus, karena bisa tumbuh secara liar di kawasan pegunungan, tepatnya pada ketinggian lebih dari 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Sebenarnya kerben tidak hanya bisa diperoleh di Jambi, karena di Lembang Bandung pun, buah ini ada dan biasanya dipasarkan bersamaan dengan strawberry.
Buah ini merupakan tanaman perdu dengan banyak duri pada bagian batangnya, berbeda dengan tanaman strawberry yang tidak memiliki batang kokoh.
Sering kali kerben ditemukan pada pekarangan rumah warga, karena memang buah ini merupakan jenis tumbuhan liar.
Saat buahnya tidak dimakan karena begitu melimpah, maka begitu jatuh dari pohon, bijinya akan tumbuh menjadi bibit baru, sehingga akan muncul kebun belukar yang semakin rimbun.
Menariknya, buah ini tidak mengenal musim, karena bisa dipanen sepanjang tahun.
Saat ini kerben pun turut dimanfaatkan pula sebagai bahan pembuatan selai.
Awalnya, buah ini diambil dari tanaman liar di hutan, namun saat kapasitas produksi selai mulai mengalami peningkatan, kerben pun mulai dibudidayakan di banyak lahan terbengkalai.
2. Perpaduan strawberry dan raspberry
Saat melihat buahnya, tampak seperti persilangan antara dua bua keluarga berry yakni buah strawberry dan raspberry.
Bentuk kerben ini mirip strawberry, namun warna merahnya menyerupai raspberry.
"Hanya saja, teksturnya lebih lembut daripada strawberry, ukurannya juga lebih kecil. Buah yang sudah matang sempurna akan terlihat berwarna merah menyala dan rasanya manis dengan sedikit asam. Namun ada bagian lembut berwarna putih di bagian tengah buah, ini yang tidak ditemukan pada strawberry," kata Sukmareni.
Baca juga: 14 Pot Tanaman Hias Ditukar Mobil Yaris, Ditotal Harganya Rp 120 Juta, Termahal Strawberry Shake
Buah ini, kata dia, biasa menjadi cemilan bagi anak-anak di desa.
Begitu pula dengan para petani yang sering mengkonsumsi buah kerben segar.
Ini mereka lakukan saat pulang dari ladang atau dalam perjalanan menuju dan pulang dari ladang.
3. Selai tanpa pengawet kimia
Kerben mulai banyak dimanfaatkan oleh masyarakat desa sebagai bahan pembuatan selai.
Pemanfaatan ini pun telah melewati proses percobaan terlebih dahulu, sebelum dapat menghasilkan selai yang lezat dan menarik.
Selai kerben tidak memakai bahan pengawet kimia sedikitpun, namun jika dikemas dalam wadah kedap udara maka selai ini bisa disimpan selama dua minggu.
Syaratnya, kemasannya tidak dibuka, sehingga tidak terkontaminasi bakteri.
"Kami hanya menggunakan tambahan gula, garam dan perasan lemon sebagai penguat rasa. Bahan-bahan ini juga berperan sebagai pengawet alami," jelas Sukmareni.
4. Buah serba guna
Finalis Masterchef Indoonesia season 6, Fifin Liefang menyebut buah ini tidak hanya dapat disantap secara segar begitu saja, namun juga cocok diolah menjadi minuman jus dan berbagai dessert.
Beberapa diantaranya yakni dijadikan compote untuk melapisi bagian dalam layer cake, kemudian menjadi topping untuk sejumlah dessert seperti pancake dan waffle.
Kerben pun bisa diolah menjadi pelengkap dalam hidangan savoury atau gurih.
Rasanya yang asam dan manis sangat cocok untuk melengkapi hidangan laut dan daging.
"Misalnya sebagai saus untuk disantap dengan steak sapi atau salmon," kata Fifin.
5. Memiliki nilai ekonomi dan ekologi
Produksi selai di Desa Suko Pangkat dilakukan oleh ibu-ibu muda yang tergabung dalam KUPS Suko Suka.
Selai ini pun mampu memberikan penghasilan tambahan bagi keluarga pengelola hutan di desa itu.
"Sumber ekonomi alternatif ini juga pada akhirnya membantu mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan," tutur Sukmareni.
Selai yang diberi label 'Suko Selai' tersebut selama ini dipasarkan di sekitar Jambi dan sejumlah pasar khusus, seperti pameran produk kehutanan.
Tampilannya pun menarik dan dikemas dalam botol kaca ramah lingkungan.
"Sambutan pasar cukup baik, hal ini terlihat dari adanya permintaan produk setiap minggu. Namun, sejauh ini selai tersebut belum dipasarkan secara online, sehingga belum menjangkau pasar yang lebih luas," pungkas Sukmareni.