TRIBUNNEWS.COM - Rowo Bayu yang terletak di Banyuwangi, Jawa Timur saat ini sedang ramai dicari oleh masyarakat.
Ramainya pencarian tersebut lantaran dikaitkan dengan lokasi KKN di Desa Penari.
Terlebih, Menteri BUMN Erick Thohir juga penasaran dengan lokasi KKN di Desa Penari yang kabarnya terletak di sebuah desa di Banyuwangi.
Sudirman, pengelola dan penjaga Rowo Bayu memaparkan bahwa lokasi KKN di Desa Penari ada di Desa Rowo Bayu, Banyuwangi, Jatim.
Baca juga: Sukses di Malaysia dan Singapura, Film KKN di Desa Penari Direncanakan Akan Tayang di Seluruh Dunia
Baca juga: Tanggapi Viralnya Film KKN di Desa Penari, Nessie Judge: Cuma Terinspirasi, Bukan Kisah Asli
Ia juga memaparkan bahwa kejadian KKN yang menelan korban jiwa tersebut terjadi pada 2008.
Enam orang dari mahasiswa dari sebuah kampus di Surabaya melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Rowo Bayu.
Ada dua dari enam mahasiswa tersebut terlibat asmara sehingga menimbulkan masalah yang tak terduga.
Sudirman mengungkapkan, dua mahasiswa tersebut bertemu seseorang di sebuah desa di utara sebuah daerah.
"Di situ, keduanya ketemu dengan seseorang yang mengajaknya mampir," kata Sudirman
Hingga membuat kedua mahasiswa tersebut meninggal beberapa waktu kemudian.
Tentunya, cerita tersebut sedikit berbeda dengan tulisan yang ditulis oleh SimpleMan, pembuat utas cerita KKN di Desa Penari di Twitter.
Lalu, bagaimana sejarah Rowo Bayu Banyuwangi ini?
Mengutip banyuwangibagus.com, Rowo Bayu mempunyai arti Rawa di desa Bayu.
Rowo Bayu berkaitan dengan sejarah Kerajaan Blambangan.
Dikutip dari Dinas Kominfo Provinsi Jawa Timur, pada 1767 ketika VOC datang ke Blambangan untuk membatu kerajaan melepaskan diri dari pengaruh kerajaan-kerajaan di Bali.
Pasukan VOC bisa mengalahkan pasukan Bali pada februari 1867.
Namun, ketenangan rakyat terusik empat bulan kemudian setelah Wong Agung Wilis, saudara tiri Pangeran Adipati Danuningrat (1736-1764), patih raja terakhir Blambangan, melakukan pemberontokan.
Pasukan VOC mampu mengalahkan Wilis dalam waktu satu tahun dan menunjuk keluarga bupati Surabaya menjadi bupati Blambangan tahun 1771 untuk program Jawanisasi dan Islamisasi di Blambangan guna memutus pertalian Blambangan dengan Bali.
Namun, rakyat Blambangan tidak suka sehingga muncul pemberontakan yang dipimpin jagapati yang mendirikan benteng di Desa Bayu.
Dengan bantuan dari Kerajaan Mengwi, Jagapati mengalahkan pasukan VOC dalam pertempuran 18 Desember 1771.
Kematian pimpinan VOIC, Vaandrig Schaar dan Cornet Tinne dalam pertempuran membuat Belanda marah.
Satu tahun kemudian, VOC mendatangkan ribuan prajurit tambahan dari Madura, Surabaya, dan Besuki.
VOC lalu mendirikan benteng di Desa Bayu dan membakar lumbung padi milih pasukan Jagapati.
Di tengah kelaparan, pasukan Jagapati diserang dan dihabisi oleh tentara belanda.
Pertempuran ini dikenal dengan Puputan Bayu.
Kekalahan pasukan Jagapati membuat populasi rakyat Blambangan menyusut drastis dari 80.000 jiwa menjadi 8.000 jiwa.
Menurut sejarawan Universitas Gajah Mada, Sri Margana, Puputan Bayu pada 11 Oktober 1772 ini dikenal sebagai salah satu perang yang paling sadis di Indonesia.
Pasukan VOC memenggal kepala pasukan Jagapati dan menggantung di pepohonan di sekitar Rawa Bayu.
Untuk mengenang peperangan ini, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi membangun monumen Puputan Bayu di pintu masuk Desa Bayu.
Kini, lokasi pertempuran yang dikenal dengan nama Rowo Bayu ini menjadi tujuan wisata alam karena pemandangan yang menarik dan suasana yang tenang serta damai.
Pemeluk Hindu di Banyuwangi dan Bali juga menjadikan Rowo Bayu sebagai tempat bersuci maupun semedi dan sembahyang.
Selain itu, di kawasan Rowo Bayu banyak mengalir mata air (sendang) yang semua alirannya mengalir menjadi satu ke danau (Rowo Bayu).
Bahkan, beberapa mata airnya diyakini memiliki khasiat membuat awet muda bagi yang meminumnya.
Selain indah, Rowo Bayu juga memiliki aura mistis.
Ada beberapa aturan yang tak boleh dilanggar ketika berkunjung.
Meski begitu, tak banyak pengunjung yang tahu akan aturan tak tertulis tersebut.
Aturan tersebut adalah pengunjung diminta untuk tidak berputar arah ketika menyusuri jalan setapak yang mengelilingi danau.
(Tribunnews.com, Renald) (Kompas.com, Ady Prawira Riandi)