News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Antasari Melawan

Hukum dan Keadilan untuk Antasari Azhar

Editor: Yulis Sulistyawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar, memberikan keterangan pers di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1, Tanggerang, Banten, Senin (5/3/2012)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penasihat hukum Antasari Azhar yakni Maqdir Ismail pada Senin (4/6/20112) mendatangi kantor Komisi Yudisial (KY). Kedatangan Maqdir untuk melaporkan hakim agung kepada Komisi Yudial terhadap putusan PK yang menurutnya sangat tidak profesional.

Berikut pernyataan resmi Maqdir Ismail yang dikirimkan ke Tribunnews.com:

Hari ini pengacara mantan Ketua KPK Antasari Azhar, Maqdir Ismail dkk, melaporkan adanya kejanggalan dalam putusan PK kepada Komisi Yudisial. Salah satu butir penting, dalam Laporan dikatakan bahwa Pengadilan hingga Peninjauan Kembali tidak pernah mempertimbangkan fakta bahwa Antasari Azhar adalah seorang jaksa aktif.

Dalam UU kejaksaan, terhadap jaksa aktif, semua proses hukum harus mendapat izin dari Jaksa Agung. Dalam perkaranya Antasari tidak pernah dikeluarkan izin dari Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk melakukan peroses hukum. Sehingga ada perlakuan berbeda dengan Jaksa Esther Tanak dan Dara Veranita dua orang Jaksa yang terlibat melakukan jual beli barang bukti berupa Ekstasi baru ditahan oleh Penyidik Polda Metro Jaya setelah mendapat izin dari Jaksa Agung.   

Dikatakan bahwa meninggalnya almarhum Nasrudin Zulkaranen, memang tidak bisa disangkal adalah akibat luka tembak. Yang disangkal adalah penyebab kematiannya bukan karena adanya perintah dari Antasari Azhar. Dan yang  dipersoalkan dalam Peninjauan Kembali perkara Antasari Azhar, bahwa pembunuhan terhadap almarhum Nasrudin Zulkarnaen, tidak dilakukan dengan senjata yang dijadikan barang bukti yaitu Revolver S&W special 0.38 yang dijadikan barang bukti.

Dikatakan dalam pertimbangannya Majelis Peninjauan Kembali mengabaikan dan tidak mempertimbangkan adanya perbedaan anak peluru yang terdapat pada tubuh almarhum Nasrudin Zulkarnaen, sebagaimana diterangkan oleh Ahli Widodo Harjoprawito. Sebab menurut Widodo Harjoprawito, adanya perbedaan kedua anak peluru tersebut membuktikan bahwa almarhum ditembak dengan menggunakan dua senjata yang berbeda, sedangkan dalam fakta persidangan bahwa senjata yang digunakan sebagai bukti hanya satu berupa Revolver S&W special 0.38.

Hal yang paling aneh dan tidak masuk diakal, menurut Maqdir Ismail, adanya pertimbangan Majelis Hakim, Putusan PK halaman 144, dikatakan,

“Terhadap Bukti PK-12 berupa hasil penyadapan oleh KPK, tentang tidak adanya SMS dari terpidana kepada korban bukanlah merupakan bukti baru, karena ketiadaan SMS itu bukanlah menunjukkan ketidakada hubungannya antara terpidana dan korban, sedang dari penyadapan yang dilakukan oleh Kapolri malah tidak menunjukkan adanya ancaman atas diri terpidana, namun terpidana menggunakan kewenangan yang ada tetap memerintahkan penyadapan melalui stafnya analis informasi KPK....”

Pertimbangan Majelis Hakim PK mengenai penyadapan ini adalah pertimbangan yang tidak berdasar dan tidak berdasarkan fakta, kalau tidak mau dikatakan manipulatif dan penuh kebohongan. Sebab tidak ada dalam berkas perkara atau keterangan dari saksi yang menyatakan adanya “penyadapan yang dilakukan oleh KapolriI.

Pertimbangan ini menunjukkan bahwa Majelis Hakim secara sahih dapat dikatakan tidak membaca berkas perkara. Juga tidak masuk diakal kalau Kapolri melakukan penyadapan, karena institusi Polri tidak mempunyai kewenangan melakukan penyadapan kasus tindak pidana kecuali kasus terorisme.

Fakta dalam pertimbangan ini yang menyatakan adanya frasa   “penyadapan yang dilakukan oleh Kapolri  membuktikan bahwa pertimbangan ini bukan hanya tidak logis, namun juga membuktikan Majelis Hakim Agung tidak membaca berkas perkara secara akurat. Meskipun bisa jadi mereka mengelak, bahwa ini kesalahan ketik dan manusiawi. Tetapi dapat dipastikan bahwa frasa “penyadapan yang dilakukan oleh Kapolri ” ini adalah bukti bahwa Majelis Hakim Agung telah berbuat tidak cermat dan tidak professional.

Bahwa penyebutan adanya frasa “penyadapan yang dilakukan oleh KapolriI” sebagai fakta persidangan, tidak sesuai dengan Pasal 197 ayat (1) d KUHAP, karena hal ini bukan merupakan fakta atau keadaan dari pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud oleh KUHAP. Menurut KUHAP tidak terpenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Memang dengan putusan yang salah kaprah dan tidak cermat ini, Antasari Azhar dihukum 18 tahun oleh pengadilan, tetapi Hakim Agung yang memutus perkara ini dihukum sepanjang masa oleh putusan mereka yang salah dan tidak berdasarkan fakta.

Dan jangan lupa yang memutus perakara ini tiga orang bergelar Doktor salah satu diantaranya Guru Besar di Universitas ternama. Sekedar informasi  yang memutus perkara ini adalah pimpinan teras Mahkamah Agung, Harifin Andi Tumpa dengan Jabatan Struktural Ketua Mahkamah Agung; Djoko Sarwoko  Jabatan Struktural Ketua Muda Pidana; Komariah Emong Sapardjaja; Imron Anwari Jabatan Struktural Ketua Muda Peradilan Militer; dan Hatta Ali, Jabatan Struktural Ketua Muda Pengawasan.

Dalam mengakhiri keterangannya, Maqdir Ismail, menyatakan,  “karena ketaatan terhadap hukum dan kepercayaan akan adanya keadilan, maka kami datang ke Komisi Yudisial, melaporkan ini untuk meminta perhatian dan mencari keadilan, sebab secara hukum, upaya hukum Antasari Azhar untuk menceri keadilan sudah tidak ada lagi”.

Berita Terkait: Antasari Melawan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini