Oleh Richard Susilo*)
TRIBUNNEWS.COM - Masih segar di ingatan, antara tahun 2001-2004, ketika Menteri Pertanian (Peternakan) Indonesia Prof Dr Ir Bungaran Saragih, M.Ec berkunjung ke Jepang, Menteri Pertanian pernah meminta langsung menteri kita itu agar memperkenankan Jepang mengekspor daging sapi ke Indonesia. Namun dengan tegas Indonesia menolak karena tahu daging sapi Jepang tercemar penyakit.
Dalam sejarah sedikitnya 20 tahun ini, mungkin itulah satu-satunya Indonesia menolak permintaan Jepang. Tidak memperkenankan daging sapi Jepang memasuki Indonesia, takut kalau sapi Indonesia tercemar penyakit sapi Jepang pula.
Lalu sakit apa yang dialami sapi Jepang? Sedikitnya dua macam. Sapi Jepang di Jepang pernah terkena penyakit mulut dan kuku (PMK) pada bulan Mei 2010 di Miyazaki Jepang, menjadi wabah sehingga banyak sapi yang terpaksa harus dibumihanguskan, dibunuh dan dibakar, agar penyakit tidak menyebar luar.
Gubernur Miyazaki saat itu Hideo Higashikokubaru sangat kewalahan. Sangat capai sekali menangani kasus tersebut. Untung tidak sampai karoshi (meninggal karena kecapekan). Namun akhirnya bisa juga teratasi dengan baik. Setidaknya Jepang pernah cacat kena penyakit PMK.
Membaca berita hari ini, Kamis (9/1/2014), di sebuah media online, entah benar entah salah sang wartawan, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Syukur Iwantoro mengatakan Indonesia bisa mengimpor sapi Jepang.
Begitu tulis berita tersebut, "Kementerian Pertanian memastikan Indonesia bisa mengimpor daging sapi dari Jepang. Ini dimungkinkan karena Negeri Matahari Tersebut tersebut secara country based bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK)."
Sekali tercemar penyakit, bahkan wabah penyakit, bagi saya tak percaya lagi dan sangat bijaksana apabila kita tidak mengimpor daging sapi dari Jepang sesuai pula yang pernah seorang menteri pertanian Indonesia kita itu menolak keinginan Jepang untuk mengekspor daging sapi ke Indonesia.
Penyakit sapi di Jepang bukan itu saja. Satu lagi yaitu penyakit sapi gila atau Bovine spongiform encephalopathy (BSE).
Berdasarkan data Food Safety Commission tahun 2003, setidaknya 36 kasus BSE tersebar di Jepang dan jumlah ini jumlah kasus terbesar di luar Eropa. Plus juga satu kasus di Jepang dengan nama vCJD atau penyakit Creutzfeldt–Jakob, gangguan saraf degeneratif yang tidak dapat disembuhkan dan selalu fatal.
Setidaknya dua penyakit besar itu terkena pada sapi-sapi Jepang itu menjadi pertimbangan mantan Menteri Pertanian kita itu menentang dan terbuka menolak impor sapi Jepang ke Indonesia.
Apakah dengan berjalannya waktu sudah kita anggap hilang semua penyakit tersebut sehingga aman dan bisa diimpor ke Indonesia?
Mungkin para ahli peternakan Indonesia perlu survei dulu ke berbagai tempat di Jepang yang pernah terkena penyakit sapi tersebut agar sadar dan yakin penuh saat ini (2014) memang sudah steril tak ada lagi tersisa penyakit tersebut di Jepang. Kalau tak tahu tempatnya, penulis dapat membantu memberitahukan daerah rawan penyakit sapi di Jepang.
Apakah kita memang ingin sapi cantik dan bersih kita terkena penyakit-penyakit tersebut, yang berarti manusia juga akan terkena dampaknya memakan daging sakit yang berpenyakitan itu.
Ini bukan soal kerjasama atau persahabatan antarnegara dan bukan soal halal atau tidak .Tetapi sudah sewajarnya kita memproteksi sapi kita sendiri dijauhkan dari segala penyakit dan sekaligus ikut menjaga lingkungan kesehatan manusia karena manusia Indonesia sangat banyak sekali makan daging sapi. Lihat saja data impor daging sapi dari Australia yang masih dianggap masih belum mencukupi kebutuhan dalam negeri Indonesia.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kesehatan sapi kita sendiri dan jangan mudah mengimpor daging sapi tanpa melakukan survei langsung ke lapangan, ke negara yang bersangkutan sampai ke detil dan melihat sejarah sapi negara yang bersangkutan. Atau mungkin wartawannya salah mengutip ucapan sang Dirjen ya?
*) Penulis adalah Koordinator Forum Ekonomi Jepang-Indonesia (JIEF) berdomisili lebih dari 20 tahun di Jepang.