Oleh : Denny Rafles
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Cinta Tanah Air (GITA) Jawa Timur
SEJAK pertemuan dengan penulis di Kota Malang, pada tanggal 10 November 2013 di Ruang VVIP Lanud TNI-AU Abdurahman Saleh, Gita Wirjawan (GW), yang pada saat itu masih berstatus Menteri Perdagangan Republik Indonesia hingga beberapa pertemuan berikutnya, tepatnya pada tanggal 4 Januari 2014 di Kota Surabaya dalam rangka mendampingi kunjungan kerja Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meninjau kinerja bidang kesehatan di jatim sejak adanya BPJS Kesehatan dan menghadiri Harlah Pemuda Anshor yang ke-80 tahun.
Ada sebuah kerisauan yang diungkapkan kepada penulis soal besarnya potensi benturan kepentingan dimana pada saat yang bersamaan juga berstatus sebagai peserta Konvensi Partai Demokrat yang sudah barang tentu akan bersentuhan dengan dunia politik prakstis. Sebab dimana saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan juga harus berjuang untuk keterpilihan sebagai capres dari partai Demokrat, dengan cara ber-“kampanye” dan sudah barang tentu juga harus mempersiapkan segala kebutuhan “kampanye”, baik itu dana, SDM maupun waktu.
Kondisi tersebutlah yang sering menguras energi dan mengganggu kinerja sosok GW dalam fatsun politik ber-etikanya dan profesionalisme yang selama ini dianutnya, fatsun politik yang tidak mau tergoda menggunakan kekuasaan di Kementerian dan uang Negara untuk kepentingan politik praktis peserta Konvensi Partai Demokrat, sampai-sampai harus tiga kali mengajukan surat pengunduran diri dari Jabatan Menteri Perdagangan kepada Presiden SBY dan tiga kali pula ditolak sang bos Menteri tersebut. Hal ini disebabkan adanya beberapa agenda besar internasional yang menyangkut kepentingan bangsa yang berkaitan dengan Kementerian Perdagangan dan tidak dapat digantikan, selain harus oleh GW sendiri, diantaranya pertemuan APEC, Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organisation (WTO) di Bali, dan terakhir adalah World Economic Forum (WEF), Menteri jebolan Harvard University ini juga harus membangun benteng di sektor perdagangan dengan RUU yang bersifat nasionalis.
Setelah berbagai prestasi diatas dirasa cukup dalam membentengi Indonesia dari serangan liberalisme dunia era perdagangan bebas tahun 2015 mendatang, untuk kesekian kali GW mengajukan pengunduran dirinya kepada Presiden SBY secara tertulis yang mana sesuai dengan apa yang diatur di ayat 2 pasal 24 Undang-Undang No.39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, bahwa Menteri diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden dikarenakan pengunduran diri secara tertulis atas permintaan sendiri sang menteri. Hal ini menjelaskan bahwa berhenti tidaknya Menteri dari jabatannya tergantung dari pada Presiden sang empunya hak Prerogatif, selama surat pengunduran diri Menteri ditolak oleh Presiden maka sang Menteri tidak dapat menuruti keinginannya sendiri untuk berhenti dari jabatannya dengan alasan apapun. Sesuai pula dengan apa yang diatur di Undang-Undang Dasar 1945 perubahan pertama pasal 17 ayat 2, Menteri-Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, jelas berhenti tidaknya Menteri dari jabatannya sangat tergantung pada President willing , seperti apa yang dialami oleh GW saat ini.
Jadi bukan pada masalah tepat atau tidak tepatnya waktu pengunduran diri dari jabatan Menteri yang diajukan oleh GW pada Presiden SBY yang selama ini dipolitisir oleh lawan-lawan politik GW dan beberapa pengamat sehubungan dengan kebijakan impor beras Premium dari Vietnam melalui beberapa media partisan yang belakangan beredar, yang dapat menimbulkan sesat pikir di masyarakat tapi harusnya pada apakah pengunduran diri GW ini melanggar atau tidak melanggar prosedur dan ketentuan yang berlaku di UUD 1945 dan UU Kementerian Negara tersebut. Karena sejak semula ditetapkan sebagai peserta Konvensi Partai Demokrat, GW sudah mengajukan pengunduran diri dari Jabatan Menteri.
Berani Lebih Baik
Apa yang dilakukan GW adalah pilihan tepat, dimana disaat bangsa ini ingin membangun budaya politik demokrasi yang bersih dan santun. Pilihan mengundurkan diri dari Jabatan Menteri adalah demi membela kepentingan bangsa yang lebih besar, yaitu agar kekuasaan Menteri Perdagangan dan keuangan negara tidak dipakai untuk membiayai pemenangan GW dalam konvensi capres di Demokrat. GW lebih rela kehilangan Jabatan dan berbagai privilege di Kementerian Perdagangan daripada terjebak dalam penyalahgunaan wewenang dan penggunaan keuangan Negara untuk pemenangan konvensi GW di Demokrat yang sudah barang tentu akan dapat merugikan rakyat banyak, jika kebijakan bertahan terus di Jabatan Menteri Perdagangan hingga terpilih sebagai Capres Partai Demokrat.
Memang setiap pilihan mengandung resiko, resiko kehilangan segalanya, kocek pribadi dan jabatan ketika nantinya tidak terpilih sebagai Capres Demokrat. Tetapi satu hal yang sudah ditanamkan oleh GW , etika berpolitik bersih dan santun harus ditegakkan dalam mencapai tujuan-tujuan politik dalam kontestasi meraih kekuasaan. Tidak seperti yang dilakukan oleh beberapa Menteri dan Pejabat Negara yang terlibat didalam kontestasi meraih kekuasaan di Tahun 2014 ini. Sungguh sebuah langkah cerdas yang patut diapresiasi.
Keputusan GW untuk lebih fokus pada konvensi capres juga didasari bahwa peletakan capaian kemajuan didalam berdemokrasi di Indonesia bukan hanya untuk kemajuan internal Partai Demokrat, tapi adalah demi kemajuan perpolitikan bangsa. Dan tentunya memberi harapan baru bagi rakyat dalam usaha memilih calon pemimpinnya, dalam hal ini capres. Rakyat sudah sejak awal disuguhi berbagai rekam jejak capres dalam konvensi ini, ada ruang dan waktu yang relatif cukup bagi rakyat untuk memutuskan kelak memilih di TPS dalam pemilihan Presiden di Juni 2014.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Daerah Pemilihan Pilpres adalah seluruh wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang hingga Merauke, tentunya dengan wilayah geografis yang seluas itu membutuhkan effort yang tidak sedikit dalam hal dana, tenaga dan waktu yang tersedia. Semua anak bangsa yang berjuang untuk terpilih menjadi Presiden RI yang berikutnya setelah era SBY tentu akan lebih serius dan berusaha lebih fokus untuk mencapai segala tujuan agar terpilih.
Bisa dibayangkan ketika seorang Menteri jika dihadapkan pada posisi tersebut, tentu akan tergoda untuk menggunakan kekuasaan dan APBN yang dikelola oleh Kementeriannya. Dimana menempatkan kunjungan Kerja Menteri dan dimana sela-sela kunjungan kerja untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya sebagai Capres Konvensi . Konflik kepentingan inilah yang harus dihindari. Keberanian inilah yang dipunyai GW untuk memutuskan berhenti dari jabatan Menteri, yang tidak dipunyai koleganya di beberapa kementerian. Jika langkah GW ini diikuti koleganya di Kementerian lain, GW akan menjadi yang original sedang yang lain hanya follower saja.
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan GW setelah mundur dari jabatan Menteri Perdagangan adalah mengkonsolidasikan tim pendukungnya hingga ditingkat satuan terkecil, guna memperlihatkan kepada Rakyat tentang keseriusannya dalam mengikuti konvensi Capres di Partai Demokrat. Tentu dengan karya nyata yang dapat meningkatkan popularitas dan elektabilitas, yang riil dan sejumlah pendukung yang significant guna mengalahkan peserta konvensi lainnya dalam berbagai indikator keterpilihan pada Konvensi Capres Demokrat ini. Dan selanjutnya, serahkan pengusutan pelanggaran impor beras premium Vietnam pada pihak yang berwenang tanpa campur tangan GW, dengan begitu putusan yang diambil dalam siapa pihak yang harus bertanggungjawab menjadi sangat obyektif. Salut pak GW, berani lebih baik.
*Denny Rafles
Email : drafles@gmail.com