Oleh: Direktur Sigma (Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia) Said Salahuddin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum telah menyatakan Jokowi-JK pemenang Pilpres 2014. Sepanjang belum resmi dilakukan pelantikan, keduanya belum bisa dikatakan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih dan belum benar-benar akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden ke-7 RI. Menurut hukum, status Jokowi-JK sampai hari ini adalah calon presiden dan calon wakil presiden terpilih, bukan presiden dan wakil presiden terpilih.
Harus dibedakan antara capres dan cawapres terpilih dengan presiden dan wakil presiden terpilih agar tidak menimbulkan kerancuan hukum. Di dalam hukum, segala sesuatunya harus mengandung kepastian. Nah, masalahnya Jokowi-JK belum pasti benar akan menjadi presiden dan wakil presiden terpilih.
Agar bisa menyandang sebutan presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi-JK masih harus melewati dua fase pertarungan lagi, hukum dan politik. Mereka harus menang dalam pertarungan hukum melawan Prabowo-Hatta di Mahkamah Konstitusi (MK) apabila mengajukan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Di MK, bisa saja Keputusan KPU yang menetapkan Jokowi-JK sebagai calon presiden dan calon wakil presiden terpilih dianulir. MK berwenang mengganti pemenang pilpres. Sebagai contoh, dalam PHPU kepala daerah, hal semacam itu pernah terjadi. Di antaranya pada kasus PHPU Kepala Daerah Kotawaringin Barat, Kalimantan Barat.
Andai MK menjatuhkan Putusan yang menyatakan menolak permohonan kubu Prabowo-Hatta, maka kemenangan Jokowi-JK dalam pertarungan hukum masih harus berlanjut ke pertarungan berikutnya, yaitu pertarungan politik antar parpolpendukung pasangan capres-cawapres di DPR RI, Senayan.
Dalam pertarungan ini parpol pendukung Jokowi-JK harus mampu menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik keduanya. Di situlah Jokowi-JK akan diambil sumpah sebagai Presiden dan Wakil Presiden, sekaligus mengubah status dirinya dari seorang calon presiden dan wakil presiden terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI.
Pertarungan politik menjadi pertarungan paling berat. Komposisi kursi DPR didominasi partai-partai pendukung Prabowo-Hatta sebanyak 353 kursi. Maka menjadi tidak mudah bagi parpol pendukung Jokowi-JK dengan 207 kursi, menggelar sidang paripurna MPR untuk melantik Jokowi-JK. Sebab pelantikan Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan oleh MPR.
Kalau pun parpol koalisi Prabowo-Hatta sampai menolak menggelar sidang paripurna sehingga MPR tidak bisa bersidang, maka PDI Perjuangan, PKB, NasDem, dan Hanura harus berjuang dengan cara lain, menggelar sidang paripurna DPR untuk melantik Jokowi. Itu mekanisme pelantikan atau pengangkatan sumpah Presiden dan Wakil Presiden terpilih apabila MPR tidak dapat bersidang.
Masalahnya kalau DPR ternyata juga tidak dapat bersidang karena parpol koalisi Prabowo-Hatta tetap menolak, maka peluang terakhir untuk melantik Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden adalah dengan menghadirkan pimpinan MPR. Itulah mekanisme pelantikan dalam kondisi terburuk menurut Pasal 162 ayat (3) UU Pilpres.
Jadi, jika MPR tak dapat menggelar sidang paripurna untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih, alternatifnya adalah dengan menggelar sidang paripurna DPR. Kalau DPR juga tidak bisa menggelar sidang paripurna, maka pelantikan dilakukan di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Nah, kalau pimpinan MPR nantinya didominasi oleh partai koalisi pendukung Prabowo-Hatta, yang lagi-lagi menolak untuk melantik Jokowi-JK, maka di sini lah akan muncul malapetaka politik. Sungguh tidak bisa membayangkan jika kondisi itu benar-benar terjadi.