Agustus, menjadi bulan yang sakral bagi rakyat Indonesia. Sebab, di bulan Agustuslah Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Setiap Agustus pula rakyat Indonesia selalu merayakan hari kemerdekaan dengan semarak. Setiap rumah memasang sang dwi warna dilengkapi dengan berbagai hiasan serta mengadakan lomba untuk anak-anak.
Sejak duduk di bangku Sekolah dasar (SD), berbagai cerita heroik selalu mengiringi perjalanan kemerdekaan Indonesia. Dimulai sejak perlawanan kerajaan-kerajaan nusantara terhadap pemerintah kolonial Belanda hingga “penculikan” Soekarno dan Hatta oleh pemuda ke Rengasdengklok.
Sampai pada akhirnya, Soekarno bersama Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelah 69 tahun, setiap peringatan hari kemerdekaan RI selalu muncul pertanyaan-pertanyaan yang mempertanyakan status kemerdekaan kita. Ada sebagian orang berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia belum terjadi dan tidak sepenuhnya dirasakan oleh rakyat Indonesia. Indonesia masih terikat oleh belenggu asing dalam bidang ekonomi, bidang pangan, dll. Bahkan ada yang berkata, “Indonesia itu masalah atau cita-cita?”
Pertanyaan tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, seluruh Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia yang menyangkut hajat hidup orang banyak masih dikuasai oleh asing. Hal ini tentu saja, sebuah pengkhianatan terhadap konstitusi pasal 33. Tak cukup sampai disitu, klaim data yang dikeluarkan oleh pemerintah ternyata mengalami kejanggalan di kehidupan nyata.
Pemerintah merilis pertumbuhan ekonomi selama triwulan I/2014 sebesar 5,2%. Pada Mei 2014, Pendapatan per kapita Indonesia sebesar US$ 4.700. Namun, Angka persentase tersebut nyatanya tidak dibarengi kualitas hidup mayoritas rakyat Indonesia. Buktinya, masih banyak rakyat Indonesia yang kelaparan. Merujuk data Food an Agriculture Organization (FAO) pada 2012, 21 juta rakyat Indonesia masih menderita kelaparan.
Laporan akhir 2012, data Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat sebanyak 8 juta anak balita mengalami gizi buruk kategori "stunting" yakni tinggi badan yang lebih rendah dibanding balita normal. Dari data 23 juta anak balita di Indonesia, 8 juta jiwa atau 35 persennya mengidap gizi buruk kategori stunting, sementara untuk kasus gizi buruk tercatat sebanyak 900 ribu bayi atau sekitar 4,5 persen dari total jumlah bayi di seluruh Indonesia.
Di bidang pendidikan, perkembangan kualitas pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga masih tertinggal. Berdasarkan data dari UNESCO yang dipublikasikan dalam Education for All Global Monitoring Report 2011, Education Development Index (EDI), Indonesia berada pada posisi ke-69 atau empat strip di bawah Malaysia yang bertengger di posisi ke-65 dan jauh tertinggal dari Brunei yang berada di posisi ke-34. Pada tahun 2011, angka buta huruf di Indonesia masih mencapai 8,3 juta jiwa atau 4,79 persen.
Merujuk data tersebut, Indonesia belum bisa disebut sebagai negara merdeka dan makmur karena indikasi negara makmur antara lain tidak satu pun rakyatnya yang kelaparan, kurang gizi, apalagi meninggal dunia akibat kelaparan. Kalau masih terjadi, maka negara itu belum sepenuhnya dikatakan makmur.
Masyarakat Indonesia seharusnya kaya dan sejahtera karena kemiskinan dan kelaparan tidak sepantasnya muncul di Indonesia. Bahkan krisis air bersih, gizi buruk dan rawan pangan seharusnya bukan hal yang patut dikhawatirkan di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi. Namun nyatanya, masih banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Oleh sebab itu, perayaan kemerdekaan mestinya tidak hanya sekedar sebuah perayaan atau euforia, tetapi menghidupkan. Kemerdekaan sepatutnya menjadi sebuah gerakan dan bukan monumen. Sebab, merdeka bukan berarti terlepas dari masalah, merdeka itu sebuah kesempatan untuk menyelesaikan masalah.
Soekarno pernah berucap bahwa Indonesia dapat dikatakan merdeka jika dapat mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik dan berkepribadian dalam hal budaya. Bangsa yang telah merdeka tujuan akhirnya adalah menjadi bangsa yang mandiri. Kemandirian yang ditunjukkan dengan kedaulatan politik, ekonomi, dan pangan. Tanpa itu sebuah negara hanya mengalami kemerdekaan semu.
Penulis: Virdika Rizky Utama
- Pegiat Pers Mahasiswa, LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
- Mahasiswa Tingkat Akhir Pendidikan Sejarah UNJ