Oleh: Pangi Syarwi Chaniago
Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
TRIBUNNEWS.COM - Ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis terkait keberhasilan, saran dan masukan untuk Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Pertama, Jokowi termasuk pemimpin yang kurus tapi berani, terlihat cepat dalam proses pengambilan keputusan. Misalnya, dalam mengumumkan kenaikan harga BBM Jokowi tak membutuhkan waktu begitu lama dan siap menerima risiko politik termasuk menggangu popularitasnya akibat kenaikan BBM.
Pada era Susilo Bambang Yudhoyono, walau berbadan tegap dan bongsor tapi terkesan lembek dalam mengambil keputusan.
Konsekuensinya terjadi antrean BBM di mana-mana karena banyak yang mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan memanfaatkan kenaikan harga BBM untuk mencari keuntungan lewat selisih harga lama dengan harga baru.
Lamanya SBY dalam pengambilan keputusan mungkin karena kehati- hatian beliau dalam proses policy. Era Jokowi hampir tak terjadi antrean BBM yang lama dan panjang.
Kedua, keberanian Jokowi untuk tidak memasukkan menteri dari ketua umum partai politik.
Berbeda era SBY, hampir ketua umum parpol memperoleh jabatan menteri. Nama seperti Aburizal Bakri, Muhaimin Iskandar, Suryadharma Ali, Tifatul Sembiring, Hatta Rajasa dan seterusnya adalah contoh ketua umum parpol sekaligus menjabat menteri. Mau tidak mau, suka tidak suka, itu harus kita akui.
Namun pada saat yang sama, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian serius bagi Presiden Jokowi.
Pertama, Jokowi harus mampu mewujudkan janji politiknya untuk segera mungkin membangun pelabuhan, waduk, irigasi, rel kereta api, tol laut dan lain sebagainya.
Kalau Presiden Jokowi tak mampu memujudkan janji-janjinya, hampir dipastikan pemerintahan Jokowi segera menemui ajalnya.
Saya kira rakyat tak perlu membutuhkan waktu yang lama menurunkan rezim Jokowi seiring bertambahnya jumlah orang miskin dan pengangguran. Untuk sekadar diketahui, rakyat kapan pun bisa mengambil kembali legitimasi yang sudah diberikan kepadanya.
Dalam politik, soal legitimasi sebagai prasyarat berkuasa. Kalau kemudian keuntungan yang diperoleh pemerintah dari kenaikan harga BBM tapi faktanya tak mampu memakmurkan rakyat sesuai dengan janji yaitu mengalihkan subsidi BBM ke sektor produktif seperti pembangunan infrastruktur.
Namun kalau seandainya yang terjadi, birokrasi tak mampu menyerap APBN alias gagal mendisribusikannya ke rakyat karena terjadinya korupsi. Maka ini warning bagi pemerintahan Jokowi. Apabila trust building yang terkikis maka Jokowi akan berurusan langsung dengan kekuatan rakyat (people power).
Tak ada maksud saya menakut- nakuti pemerintah hanya sekadar mengingatkan.
Saya rasa, citra politik yang sudah lama dibangun presiden Jokowi akan sia-sia dan hancur seketika kalau kemudian tak sesuai antara ekspektasi dengan kenyataan (realitas politik) di lapangan.
Jokowi harus terus berupaya mendamaikan antara ekspektasi dengan realita lewat program yang langsung menyentuh dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Sehingga cita-cita kemerdekaan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu "kesejahteraan dan kemakmuran" segera benar-benar bisa terwujud. Semoga!