News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Surat untuk Presiden Jokowi Menuntut Keadilan Iklim Berkeadilan Gender

Editor: Y Gustaman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aktivis lingkungan hidup membawa instalasi kepala manusia berukuran 3 meter saat unjuk rasa di sekitar bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (21/9/2014). Aksi yang dinamakan pawai iklim massal ini dilaksanakan serentak di lebih dari 150 negara, mengajak masyarakat untuk mengisi petisi yang ditujukan kepada presiden terpilih Jokowi. TRIBUNNEWS/HERUDIN

Kepada YTH.
Bapak Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Di Tempat

Kami, masyarakat sipil Indonesia yang memperjuangkan keadilan gender, sosial dan ekologi, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional menyatakan keprihatinan kami atas perkembangan situasi dan respon perubahan iklim, baik di tingkat global maupun nasional. Perubahan iklim telah menimbulkan dampak  signifikan bagi kehidupan manusia di seluruh dunia, terutama masyarakat di negara-negara berkembang yang selama ini sudah dimiskinkan dengan berbagai aksi dan kebijakan yang merampas ruang dan sumber-sumber kehidupan mereka. Namun, dampak dari perubahan iklim ternyata tidak netral gender, permasalahannya bisa saja sama, tapi pengalaman yang dialami perempuan dan laki-laki berbeda. Sistem dan budaya patriarki mengkonstruksikan peran gender yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, serta terampasnya akses dan kontrol perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang membuat hilangnya peran sosial perempuan, menyebabkan kekuatan politik perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi semakin minim. Dampak dan solusi perubahan iklim hadir di tengah-tengah sistem relasi sosial yang timpang, tidak adil dan mensubordinasi perempuan. Perubahan iklim kemudian semakin meningkatkan beban dan ketidakadilan gender bagi perempuan. Sehingga, dibutuhkan upaya dan aksi nyata dalam mewujudkan keadilan gender bagi perempuan, terutama dalam menghadapi perubahan iklim.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Tingginya bencana alam yang terjadi di Indonesia seperti banjir, tanah longsor, Kekeringan, badai  adalah fakta atas kerentanan tersebut. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa selama 1982-2012 telah terjadi banjir (4,121), tanah longsor (1,983), Badai (1,903) dan kekeringan (1,414), sebagai dampak dari fenomena perubahan iklim (BNPB, 2013). KIARA juga mencatat, periode 2010-2014 nelayan yang hilang dan meninggal dunia di laut akibat dampak perubahan iklim dalam bentuk meningkatnya cuaca ekstrem telah mencapai 856 orang. Pada tahun 2010 nelayan Hilang dan meninggal dan hilang di laut mencapai 86, tahun 2011 naik menjadi 149, tahun 2012 meningkat menjadi 186, dan pada tahun 2013 meningkat drastis menjadi 255 orang, dan hingga Oktober 2014 telah mencapai 210 orang. Bencana-benanca iklim ini telah memberikan dampak yang sangat berat bagi perempuan dan anak karena harus menanggung beban ekonomi keluarga sementara negara belum secara serius memberikan perhatian terhadap keluarga korban dampak bencana iklim.

Situasi ini jelas menunjukkan tingginya kebutuhan Indonesia untuk beradaptasi dan meningkatkan ketahanannya atas dampak perubahan iklim, termasuk kebutuhan pendanaannya. Estimasi kebutuhan pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim di Indonesia dalam RAN-API, mencapai hingga Rp. 840 triliun, jauh lebih tinggi daripada kegiatan mitigasi yang tertuang dalam RAN GRK, yang mencapai Rp. 225 triliun (Bappenas, 2013). Namun, prinsip dan pendekatan yang inklusif, sensitif dan responsif gender belum terintegrasi di dalam rencana aksi perubahan iklim yang dibuat oleh Pemerintah dan upaya pengarusutamaan gender juga belum maksimal dilakukan.

Di tengah kebutuhan yang tinggi untuk upaya adaptasi,  Indonesia  justru  menyatakan komitmennya mengurangi emisi hingga 26% pada tahun 2020 dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional. Komitmen ini diterjemahkan dengan pengembangan kebijakan dan proyek percontohan untuk pengurangan emisi dengan mekanisme REDD+, yang dikembangkan untuk masuk ke dalam skema perdagangan karbon internasional atau menggunakan mekanisme pasar. Beberapa pengalaman menunjukkan kegagalan proyek percontohan REDD di Indonesia yang berdampak pada pembatasan akses dan kontrol masyarakat di sekitar hutan dan memunculkan konflik di masyarakat akibat mekanisme yang tidak transparan dan akuntabel.

Komitmen tersebut   telah mengundang berbagai pendanaan iklim untuk masuk ke Indonesia. Pada tahun 2011, komitmen pendanaan iklim ke Indonesia mencapai USD 4,4 milyar, berbentuk utang, hibah, campuran utang dan hibah, serta bantuan teknis, bersumber dari negara industri, lembaga keuangan internasional dan swasta, yang ditujukan untuk aktifitas mitigasi perubahan iklim (Overseas Development Institute, 2011). Sedangkan, sumber pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim masih mengandalkan dana APBN (Bappenas, 2013), namun upaya Pemerintah dalam merespon dampak perubahan iklim dan meningkatkan ketahanan masyarakat atas perubahan iklim tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kontribusi Indonesia dalam merespon perubahan iklim dalam arena perundingan internasional. Selain itu, walaupun kebutuhan saat ini, negara berkembang juga harus berkontribusi dalam melakukan upaya mitigasi untuk memenuhi ambang batas emisi global, namun tidak kemudian harus diterjemahkan dengan skema dan mekanisme yang mendukung agenda kepentingan negara industri maju yang ingin mengalihkan beban tanggung jawab pengurangan emisi ke negara berkembang. Upaya mitigasi yang dilakukan seharusnya tidak semakin menghilangkan akses dan kontrol masyarakat atas sumber daya alamnya, tidak menimbulkan konflik baru dan melanggar HAM, serta tidak menciptakan utang baru bagi negara.

Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) telah mengakui dan menyepakati bahwa negara maju bertanggung jawab secara historis atas situasi perubahan iklim yang terjadi saat ini. Akibat pembangunan dan perkembangan industrinya, negara maju telah mendapatkan peningkatan signifikan dalam peradaban, perkembangan teknologi, dan kekuatan ekonomi, dan oleh karenanya berkewajiban untuk memperbaiki dampak dari aktivitas mereka selama beratus-ratus tahun melakukan eksploitasi sumber daya alam dan pengrusakan lingkungan, termasuk di negara berkembang, telah mengakibatkan peningkatan gas emisi rumah kaca sebagai penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Oleh karena itu, tanggung jawab atas situasi ini, haruslah berbeda antara negara maju dengan negara berkembang. Negara maju harus memiliki langkah dan aksi yang tegas dalam pengurangan emisi gas rumah kaca melalui upaya domestik, menyediakan pendanaan, melakukan transfer teknologi dan pengembangan kapasitas bagi negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim. Walaupun berbagai komitmen telah dikeluarkan oleh negara-negara industri maju, salah satunya yang dituangkan dalam Kyoto Protocol, yang seharusnya mengikat. Namun dalam perkembangannya, masih terdapat gap yang sangat besar antara komitmen, target dan realita yang terjadi hingga kini. Komitmen pendanaan USD 9,3 milyar yang dinyatakan dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Dana Iklim Hijau (GCF) yang merupakan pendanaan iklim global pada November 2014 ini di Berlin pun masih jauh dari kemampuan negara industri dari target USD 100 milyar per tahun hingga 2020.

COP 20 di Lima-Peru pada Desember 2014 ini, menjadi titik yang krusial bagi negara berkembang, karena akan membahas mengenai perjanjian yang akan disepakati pada COP 21 di Paris tahun 2015 nanti yang akan menentukan komitmen dan langkah pasca tahun 2020. Adalah penting untuk memastikan agar kesepakatan mengikat yang akan terjadi tidak hanya focus pada upaya mitigasi dan konstribusi ditentukan oleh masing-masing negara (Intended nationally determined contribution), yang mana akan menghilangkan kewajiban bagi negara maju untuk upaya mitigasi sesuai target dan ambang batas emisi mereka, serta kewajiban untuk adaptasi, pendanaan, pengembangan kapasitas dan transfer teknologi bagi negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim. Pemerintah Indonesia harus turut memastikan kepentingan nasional Indonesia terakomodir di dalam perundingan internasional tersebut. Namun, tidak ada konsultasi publik yang partisipatif maupun keterbukaan informasi terkait agenda pemerintah Indonesia pada COP 20 tersebut yang menjangkau semua pemangku kepentingan yang akan terkena dampak dari kebijakan iklim di Indonesia.

Pada Sembilan Agenda Prioritas Jokowi-Kalla yang disebut NAWA CITA, menyatakan bahwa Pemerintahan ke depan antara lain akan mengedepankan identitas Indonesia sebagai negara kepulauan dalam pelaksanaan diplomasi dan membangun kerja sama Internasional serta akan meningkatkan peran global, dengan memberi prioritas pada permasalahan yang secara langsung berkaitan dengan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia, salah satunya dilakukan dengan meningkatkan kerja sama Selatan-Selatan sebagai bagian dari perjuangan membangun kerjasama internasional dan tatanan dunia yang lebih adil, sejajar dan saling menguntungkan.

Untuk itu, Kami, masyarakat sipil Indonesia, demi keadilan iklim berkeadilan gender, menuntut Presiden Republik Indonesia untuk:

  1. Menginformasikan secara pro aktif kepada publik Indonesia mengenai agenda Pemerintah Indonesia pada COP 20 di Lima
  2. Mengawal secara aktif Tim Negosiator Indonesia pada COP 20 agar benar-benar mewakili kepentingan Rakyat Indonesia, dan bukan mengikuti agenda kepentingan negara Industri maupun kepentingan pasar global
  3. Memastikan Pemerintah Indonesia untuk memperkuat posisi Indonesia dengan mendesakkan dan mengutamakan kepentingan nasional dan negara berkembang lainnya di dalam perundingan-perundingan internasional terkait perubahan iklim yang berorientasi pada kepentingan rakyat Selatan, antara lain dengan mendesakkan seluruh elemen adaptasi, mitigasi, pendanaan, pengembangan kapasitas, transfer teknologi sebagai bagian dari kesepakatan yang mengikat (legally binding agreement)
  4. Menuntut negara-negara industri untuk mengurangi emisi mereka melalui upaya domestik dan berhenti melakukan upaya lepas dari tanggung jawab membayar utang iklim dengan memberikan pengembangan kapasitas dan transfer teknologi tanpa hambatan hak kekayaan intelektual serta pendanaan iklim tanpa syarat, namun tunduk pada prinsip dan standar HAM Internasional,  dan tidak menciptakan utang baru bagi negara berkembang, terutama untuk adaptasi dalam upaya meningkatkan kemampuan dan daya tahan dalam menghadapi perubahan iklim
  5. Mengubah paradigma pembangunan di Indonesia yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi berbasis investasi asing serta investasi dalam negeri yang berwatak eksploitatif menuju pembangunan berkelanjutan yang adil dan berorientasi pada kepentingan rakyat Indonesia dan bukan kepentingan sekelompok elit dan bisnis skala besar, antara lain dengan menghentikan perluasan pertambangan energi fosil dan mengkaji ulang izin-izin perusahaan perkebunan, hutan produksi dan tambang skala besar yang melakukan pengrusakan lingkungan, menyebabkan konflik agraria dan pelanggaran HAM.
  6. Memastikan dan merevisi kebijakan pengelolaan sumber daya agraria dan penanganan krisis iklim agar sejalan dengan pemenuhan hak dasar atas sumber-sumber agraria serta lilngkungan hidup yang sehat, sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi, Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan UU PLH, sehingga jaminan hak dan perlindungan sumber daya agraria yang sejalan dengan penegakan HAM adalah hal yang pokok, bukan semata-semata untuk kepentingan investasi atau bisnis; serta memberikan perlindungan thdp wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan terhadap dampak perubahan iklim
  7. Menolak dan menghentikan segala bentuk solusi perubahan iklim yang mengkomodifikasi sumber daya alam, berbasis pasar dan mengancam akses dan kontrol masyarakat, perempuan dan laki-laki, atas sumber daya alam dan lingkungan serta membahayakan kehidupan komunitas masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam, termasuk proyek geothermal, energi terbarukan yang rakus lahan dan air, dan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang dikembangkan dan diimplementasikan di Indonesia
  8. Melakukan tindakan nyata dalam pembuatan kebijakan yang terintegrasi dalam RPJPN-RPJMN, RPJPD-RPJMD dan penganggaran negara APBN dan APBD yang lebih berorientasi kepada upaya adaptasi perubahan iklim terutaman terhadap kelompok rentan seperti Nelayan, petani, perempuan, ibu dan anak.
  9. Melakukan tindakan nyata untuk mewujudkan keadilan gender dalam upaya menangani dan mengatasi perubahan iklim, antara lain dengan menetapkan kebijakan, rencana aksi dan kerangka pengaman gender/gender safeguard yang berlandaskan prinsip inklusif, sensitif dan responsif gender dalam memastikan akses dan kontrol perempuan atas sumber daya alam dan lingkungan, serta memperkuat inisiatif berbasis kearifan lokal dan pengetahuan tradisional perempuan dalam pengelolaannya, serta memastikan akses perempuan atas informasi dan partisipasi penuh perempuan dalam setiap proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan, rencana aksi, program serta proyek pembangunan dan perubahan iklim.

Jakarta, 5  Desember 2014

Hormat kami,
Yang bertanda tangan,

  1. Wahidah Rustam, Solidaritas Perempuan
  2. Risma Umar, AKSI – for Gender, Social and Ecological Justice (AKSI!),
  3. Muhammad Reza, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA),
  4. Jefri Saragih, Sawit Watch,
  5. Mida Saragih, Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF-CJI),
  6. Y.L. Franky, Yayasan PUSAKA
  7. Dani Setiawan, Koalisi Anti Utang (KAU)
  8. Abdul Halim, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  9. Rio Ismail, The Ecological Justice
  10. Iwan Nurdin, Konsorsium Pembaharuan Agraria
  11. Abetnego Tarigan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini