Oleh: Said Salahuddin, Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia
Tiga minggu sudah konflik KPK-Polri berlangsung. Alih-alih ada tanda-tanda penyelesaian, konflik dua institusi penegak hukum itu justru semakin melebar dan tak tentu arah. Suka tidak suka, harus disebut bahwa Presiden adalah orang yang paling bertanggungjawab atas terjadinya kondisi tersebut. Ada sejumlah kesalahan yang dilakukan oleh Presiden.
Pertama, Presiden tetap mengusulkan Budi Gunawan kepada DPR sebagai calon tunggal Kapolri, padahal sebelumnya Presiden telah menerima catatan dari KPK tentang dugaan keterlibatan Budi Gunawan dalam kasus rekening gendut dan penerimaan gratifikasi. Bahkan setelah KPK menetapkan status tersangka terhadap Budi Gunawan, Presiden tetap kukuh mengusulkan Budi Gunawan kepada DPR.
Apabila pada saat itu Presiden memperhatikan masukan KPK dan tanggap terhadap munculnya resistensi publik atas pencalonan Budi Gunawan, maka niscaya masalahnya tidak akan serumit sekarang. Presiden pada saat itu sebetulnya punya kesempatan untuk menganulir pencalonan Budi Gunawan, tetapi hal itu ternyata tidak dilakukannya.
Kedua, Presiden terlalu cepat memberhentikan Sutarman sebagai Kapolri, padahal di sisi yang lain Presiden belum berkehendak untuk melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri yang baru pasca-DPR memberikan persetujuan. Akibatnya, dalam institusi kepolisian terjadi ketidakjelasan kepemimpinan.
Betul ada Wakapolri Badrotin Haiti yang ditunjuk oleh Presiden sebagai pelaksana tugas Kapolri, tetapi Badrotin juga sadar bahwa posisi Budi Gunawan jauh lebih kuat daripada dirinya. Sebab, secara ketatanegaraan Budi Gunawan sudah resmi diusulkan dan disetujui menjadi Kapolri oleh dua institusi negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat bernama Presiden dan DPR, sedangkan Badrotin hanyalah pelaksana tugas Kapolri.
Kondisi itu pada gilirannnya membuat Budi Gunawan dapat leluasa memainkan pengaruhnya didalam institusi Polri. Pergantian Kabareskrim Mabes Polri dari Suhardi Alius ke Budi Waseso disebut-sebut karena pengaruh Budi Gunawan. Andaikata Suhardi Alius tidak diganti, maka belum tentu muncul kasus penangkapan terhadap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Belum tentu juga akan muncul laporan demi laporan yang memperkarakan pimpinan KPK yang lain. Bahkan boleh jadi tidak akan muncul konflik KPK-Polri.
Ketiga, adalah Presiden tidak berani mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Independen. Disini lagi-lagi Presiden terlihat tidak punya nyali untuk memformalkan tim tersebut karena hal itu disebut-sebut mendapatkan penolakan dari ketua umum partai pendukung Presiden.
Padahal, andai saja tim independen dibentuk secara formal seperti halnya tim delapan yang pernah dibentuk oleh Presiden SBY pada konflik KPK-Polri sebelumnya, maka penyelesaian masalahnya bisa semakin cepat. Hasil kerja tim independen bisa dijadikan sebagai dasar pertimbangan bagi Presiden untuk menyelesaikan masalah.
Keempat, adalah Presiden tidak menggunakan kekuasaannya terhadap institusi kepolisian. Kalau saja Presiden memahami makna Pasal 8 UU Kepolisian, maka seharusnya dia bisa menyelesaikan masalah secara lebih cepat. Dalam pasal itu ditegaskan bahwa institusi kepolisian berada dibawah Presiden dan Kapolri bertanggungjawab kepada Presiden. Artinya, dalam perspektif ketatanegaraan, pola hubungan Presiden dengan Kapolri dan seluruh personel kepolisian adalah hubungan antara atasan dan bawahan.
Oleh sebab itu menjadi aneh ketika istana bilang Presiden sudah beberapa kali meminta Budi Gunawan untuk mundur dalam proses pencalonan Kapolri, tetapi yang bersangkutan tidak mau. Itu kan artinya permintaan Presiden diabaikan oleh Budi Gunawan. Padahal, permintaan Presiden kepada bawahannya harus dipandang sebagai suatu perintah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Budi Gunawan telah bersikap tidak patuh dan tidak tunduk pada perintah Presiden yang merupakan atasannya. Tidak berlebihan jika ada yang menyebut hal Itu sebagai bentuk pembangkangan Calon Kapolri terhadap seorang Presiden. Ini kan jadi aneh. Masa Presiden seperti tidak berkutik pada seorang calon Kapolri.
Kelima, Presiden kembali menunda penyelesaian masalah konflik KPK-Polri dengan pergi keluar negeri. Dampaknya, di dalam negeri permasalahan KPK-Polri menjadi semakin ruwet. Polri semakin keras dengan menyuarakan kemungkinan seluruh pimpinan KPK akan ditetapkan sebagai tersangka. Lalu Menkumham merespons hal itu dengan mewacanakan penerbitan Perpu tentang pengangkatan Plt komisioner KPK.
Muncul pula Kompolnas yang mulai menyodorkan nama-nama baru Calon Kapolri, padahal nasib Budi Gunawan sendiri belum jelas ujungnya. Kompolnas bahkan memainkan jurus baru dengan mencoret nama Suhardi Alius dalam daftar nama Calon Kapolri tanpa alasan yang jelas.