News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Kopi Gayo

Kopi Adalah Napas Kehidupan Masyarakat Gayo

Editor: Yulis Sulistyawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Fikar W Eda dan kebun kopinya di Gayo

TRIBUNNEWS.COM - “Dari biji kopi, orang Gayo hidup dan menyambung hidup. Dari kopi pula mereka menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi. Dari hasil kebun kopi, orang Gayo kawin dan naik haji. Kopi adalah harta karun, zamrud khatulistiwa, dirawat dengan segenap jiwa.”

Hamparan perkebunan kopi rakyat menyelubungi bukit dan lembah Tanah Gayo di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah.

Gunung berapi Burni Telong anggun menjulang dengan permadani hijau di kakinya. Permadani itu adalah bentangan perkebunan kopi dengan tanaman pelindung lamtoro.

Pemandangan serba hijau juga memantul tatkala pandangan diarahkan ke sebelah kanan, dengan genangan Danau Taut Tawar di ujungnya.

Burni Telong atau gunung yang terbakar adalah gunung berapi aktif dengan ketinggian 2600 meter di atas permukaan laut. Burni Telong pernah meletus pada 7 Desember 1924.

Gunung tersebut hanya berjarak lebih kurang 5 Km dari Redelong, ibukota Kabupaten Bener Meriah. Masyarakat gayo menyebut Burni Telong dengan nama Burni Cempege, atau gunung penuh belerang.

Keanggunan Burni Telong dengan genangan awan yang menyelimuti pinggangnya, dapat dinikmati dari Kelupak Mata, desa yang berada dalam kawasan Kabupaten Aceh Tengah.

Aceh Tengah dan Bener meriah adalah dua kabupaten yang berbatasan langsung. Bener Meriah merupakan kabupaten pemekaran dari Aceh Tengah, berdasarkan UU No 41/2003.

Kelupak Mata dalam bahasa Indonesia berarti kelopak mata, benar-benar menjadi kelopak bagi seluruh pandangan mata. Desa ini terletak di sebuah pucuk bukit yang bisa dicapai dari dari Desa Sukarami atau Bukit Menjangan. Aspal hitam tampak berkelok-kelok di celah bukit dan lembah, dan sesekali melintasi mobil yang berjalan mendaki.

Jalanan mulus. Ini adalah bagian dari buah pembangunan yang sejak sepuluh tahun terakhir dipacu habis-habisan oleh pemerintah daerah setempat. Kelupak Mata, seperti juga desa-desa lainnya di Aceh Tengah dan Bener Meriah merupakan sentra perkebunan kopi rakyat.

Tanaman kopi pada bulan September masih memekarkan bunga. Tapi ada juga beberapa kebun yang sudah membulirkan buah hijau dan sedikit buah merah. Tanaman kopi itu dinaungi lamtoro yang juga kelihatan sehat

Ada lagi yang namanya Singahmata. Dalam bahasa Gayo, singahmata, artinya tempat mata singgah untuk menatap keelokan alam Tanah Gayo yang asri.

Mata benar-benar dimanjakan oleh indahnya alam. Danau Laut Tawar dengan hiasan bukit dan gunung menggenang di depan mata. Apabila cuaca cerah, di kejauhan tampak Kampung Bintang di ujung Timur danau. Bukit dan lembah Singah Mata juga dilapisi permadani hijau kopi.

Penyair Gayo, Ibrahim Kadir melukiskan Singah Mata begitu syahdu dalam sebuah puisi didong “Kin Takengen” (Untuk Takengon). Setiap perantau Gayo yang meninggalkan kampung halaman, akan melayangkan pandangan terakhir dari Singah Mata. “Ari Singah Mata, pemarin ku erah, o Takengen selo demu kite mien” (dari Singah Mata terakhir kutatap, o Takengon kapa kita bersua lagi).

Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah dua kabupaten yang berada di gugus Bukit Barisan, dan lazim disebut dataran Tinggi Gayo, karena mayoritas penduduknya berasal dari suku Gayo.

Kedua daerah itu merupakan penghasil utama kopi, dengan bentangan areal 83 ribu hektar, dimana 44 ribu hektar di Aceh Tengah dan 39 ribu hektar di Bener Meriah.

Dari luas areal itu, sebanyak 85 persen adalah jenis kopi Arabika, sisanya 15 persen kopi robusta.

Kopi adalah komoditas penting dua kabupaten tersebut. di Aceh Tengah setidaknya terdapat 33 ribu kepala keluarga (KK) yang menggantungkan hidup dari kebun kopi dan di Bener Meriah terdapat 29 ribu kepala keluarga.

Kopi arabika juga dibudidayakan oleh masyarakat Kabupaten Gayo Lues. Tapi arealnya terbatas sekitar 7.800 hektar dengan jumlah petani 3.900 kepala keluarga.

Letak geografis dan alam Tanah Gayo yang memungkinkan daerah itu sebagai tempat ideal perkebunan kopi. Dataran Tinggi Gayo berada pada ketinggian 900 sampai 1700 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan curah hujan rata-rata 1.643 mm/tahun. Elivasi yang ideal bagi tanaman kopi.

Pada 2006/2007 ekspor kopi Arabika dari pelabuhan Belawan Medan mencapai 48.637 ton dengan nilai US$ 150,4 juta.

Kopi Gayo menyumbang lebih dari 50 persen total ekspor kopi Arabika dengan nilai Rp 690 miliar, dengan nama Gayo Mountain Coffee, Mandheling Gayo, Sumatera Gayo, Sumatera Mandheling dan lain-lain.

Dari buah yang dijuluki zamrud khatulistiwa itu, masyarakat Gayo mengarungi masa depannya. Sebab dari perkebunan kopilah orang-orang Gayo hidup.

Tapi taraf hidup petani masih belum sepenuhnya menggembirakan. Maaih dibutuhkan usaha dan inovasi untuk mendorong peningkatan taraf hidup.

Salah satunya asalah menghadirkan kegiatan hilir kopi, seperti industri permen kopi, parfum, dan kebutuhan kosmetik lainnya, termasuk sauna kopi, dan aneka produk yng bernilai tambah lainnya.

Produkstivitas perkebunan juga masih perlu ditingkatkan, sehingga paling kurang tiap hektar bisa menghasilkan 1-2 ton. Selama ini produksi baru mencapai rata-rata 750 Kg per Ha per tahun.

Perkebunan kopi di tanah Gayo sepenuhnya dikuasai oleh rakyat. Ini contoh ideal bagi pengelolaan perkebunan kopi. Sedapat mungkin, perkebunan jangan sampai jatuh ke tangan-tangan pemodal besar, yang kelak bisa saja menjadi predator bagi ekononi rakyat.
Pemerintah Gayo disarankan untuk mempertahankan pola perkebunan kopi rakyat itu dalam bentuk regulasi yang mengikat.

Kopi adalah kebudayaan, menggambarkan dekatnya hubungan orang Gayo dengan tanaman kopi. Untuk memeliharakan kebudayaan itulah, “Maka kita harus terus menjaga kopi sebagai perkebunan rakyat,” kata Nur Gaybita, seorang tokoh masyarakat Gayo.

Kopi merupakan harta karun dan anugerah untuk rakyat Gayo. Komponis Gayo, AR Moese mengamanatkan itu melalui komposisi musiknya “Tawar Sedenge.” Moese menyebut Gayo sebagai daerah “si mureta dele” yaitu daerah yang bergelimang harta, termasuk kopi, pinus dan tembakau.

Moese yang meninggal dunia 2007, dalam nada retorik, menyerukan “uetmi komk rakyat Gayo” (bangkitlah rakyat Gayo), tentu bersama kopi. Bagi masyarakat Gayo, kopi adalah napas kehidupan.

Ditulis oleh Fikar W Eda,
Jurnalis Serambi Indonesia sekaligus Pecinta dan pegiat Kopi asal Gayo

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini