News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Polemik Kepengurusan Dua Partai Besar Akan Membawa Persoalan Besar

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie bersama Wapres Jusuf Kalla melakukan jumpa pers usai acara penutupan Rapimnas Partai Golkar, di Jakarta Pusat, Senin (25/1/2016). Pada penutupan tersebut, menghasilkan Partai Golkar mendukung penuh pemerintahan Jokowi-JK dan akan segera melaksanakan Munaslub. TRIBUNNEWS/HERUDIN

Ditulis oleh : Edward

TRIBUNNERS - Polemik setatus kepengurusan dua Partai era orde baru yakni Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sampai kini belum jelas.

Sebab, Menteri Hukum dan HAM (Kemenkumham) Yasonna H Laoly belum mengambil sikap untuk memberikan keputusan yang tepat, sehingga kepengurusan partai tersebut bisa dinyatakan legal alias sah.

Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Junisab Akbar mengatakan Golkar yang mengganti nama menjadi Partai Golkar (PG) dan PPP, dua diantara partai itu mengalami permasalahan, sehingga sempat memiliki kepengurusan ganda. Meski, sudah ada keputusan Mahkamah Agung untuk memenangkan salah satu kubu, namun semua itu diserahkan kepada Kemenkumham untuk mensahkan kepengurusan partai yang nyaris setahun berkonflik tersebut.

"Sampai hari ini kepengurusan ganda hanya ada di PPP. Itu terlihat dari registrasi PPP yang terdaftar di pemerintah, namun terbukti justru yang tidak terdaftar jadi pengendali di DPR RI," kata Junisab Rabu (27/1/2016).

Sedangkan untuk PG, sama sekali tidak ada kepengurusannya terdaftar di pemerintah cq Kementerian Hukum dan HAM. "Nah, ini akan semakin bermasalah ke depan hari jikalau semua pihak tidak berkeinginan tulus menuntaskannya."

Mantan anggota DPR itu pun mempertanyakan, siapa sekarang yang mampu menyatakan dengan logika hukum positif bahwa PG adalah partai politik yang sah didepan hukum kepartaian yang teregistrasi di pemerintah?

"Ini kondisi demokrasi yang anlogik. Dan hanya kita temukan dimasa setelah Soeharto tumbang. Ini, sangat memiriskan. Ini menistakan demokrasi," ungkapnya.

Selain itu kata dia, sekarang kepengurusan PG versi Aburizal Bakrie (ARB-) maupun Agung Laksono (AL) sama sekali tidak terdaftar di Kemkumham RI.

Namun, mengapa justru ARB yang menonjol memimpin PG, hal itu terlihat dari pengendalian di DPR RI dengan 'kemampuan' mengganti mantan Ketua DPR RI Setya Novanto kepada Ade Komaruddin. Malah di sahkan.

"Apakah kemampuan itu cukup menunjukkan PG sebagai sebuah partai? Tidak. Malah semakin membingungkan dunia perpartaian di Indonesia. PG versi ARB maupun AL sama sekali tidak ada teregistrasi di pemerintah. Bahkan diluar versi mereka. Artinya, PG bukanlah sesuatu partai dari perspektif registrasi kepartaian. Lebih mudah kita sebut bukan sebuah partai yang sah didepan hukum positif," ungkap dia.

"Ini sangat mengherankan, kepengurusan yang tidak tergistrasi di pemerintah namun bisa mengendalikan parlemen. Ini cenderunga akan sangat berbahaya dari perspektif politik," ujar dia.

Selain bukti bahwa PG sama sekali tidak teregistrasi di pemerintah, pada saat yang bersamaan ada sekelompok sesepuh PG yang dahulu dikenal sebagai pentolan kuat Golkar malah membentuk tim untuk mempersiapan Musyawarah Nasional Luar Biasa (MunasluB-) yang tujuannya mencari kepengurusan PG. Tadi malam, seremoni ke arah tersebut sudah dimulai.

Kalau sudah sedemikian ucap Junisab, apakah lantas bisa secara rasional menyatakan bahwa PG kubu ARB adalah partai yang sah dari sisi hukum positif yang diperlakukan sama terhadap semua partai yang ada didalam DPR RI?

"Kalau memang dipersamakan, apakah PG setara dengan partai lainnya yang terdaftar pada pemerintah? Jika tidak sama, mengapa kinerjanya di DPR RI bisa dipersamakan dengan partai yang terdaftar? Apakah itu sah?"

Jangan sampai, lanjut Junisab ada yang menyatakan kalau didalam unsur DPR RI ditemukan ada partai yang tidak secara sah tergistrasi di pemerintah namun ikutan menggerakan DPR RI lalu akan disebut menjadi DPR RI yang tidak sah. Ini, dikhwatirkan akan menambah kompleksitas masalah ketata-negaraan.

"Sebab, kondisi yang dialami PG itu sepertinya sama sekali tidak pernah diperhitungkan DPR RI saat mereka membuat UU Partai Politik dan UU MD3. Karena, kalau ada anggota DPR RI yang duduk menjabat saat partainya terdaftar di pemerintah lalu kemudian partai itu tidak lagi terdaftar dengan alasan atau sebab apapun, bagaimana dengan posisi keanggotaan partai itu di DPR RI? Karena, unsur DPR RI adalah anggota partai yang berhasil mendapatkan suara dalam pemilihan legislatif," ungkap dia.

Lanjut dia, apakah sah anggota DPR RI yang tahun 2015 terpilih melalui PG saat teregistrasi di pemerintah namun sekarang PG bukan partai politik yang sah teregistrasi. "Padahal anggota DPR RI haruslah berasal dari partai. Apa mereka masih sah disebut sebagai anggota DPR RI?"

"Sah kah Ketua DPR RI yang partainya tidak sah didalam registrasi pemerintah layaknya partai politik lainnya," sambung dia

Junisab menilai karena kubu ARB belum terregistrasi dalam keabsahan di Kemenkumham maka kemungkinan bisa saja terjadi nanti ada kelompok diluar ARB atau AL yang berhasil mencari pengurus PG. Lalu pakai dasar apa pengurus baru itu akan meregistrasikan dirinya?

"Saat kepengurusan baru mendaftar ke pemerintah, bagaimana Kemenkumham menulis kepengurusan itu? Apa akan disebut pengurus PG yang lalu atau partai baru yang bernama 'PG'? Kalau sudah seperti itu, bukankah itu malah akan melahirkan dua PG. Jadi bukan lagi dualisme kepengurusan namun sudah dua PG? Sebab, Kemenkumham tidak akan pernah bisa membuktikan 'kesinambungan' hukum dari bekas pemegang registrasi pendaftaran di pemerintah dengan kepengurusan yang baru nanti. Ini hal lain yang berpotensi akan semakin menambah kompleks permasalahan PG," papar dia.

Lantas kata Junisab, bagaimana cara 'mensahkan' kembali pengurus PG yang akan datang agar bisa seperti periode DPR RI sebelum-sebelumnya?.

"Itu tugas berat kita semua sebagai bangsa sebab PG adalah aset bangsa, bukan hanya milik orang-orang yang sedang 'bersiteru' dan yang sedang mengupayakan jalan keluar dari konflik PG itu," ucapnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini