Ditulis oleh : Edward
TRIBUNNERS - Kejaksaan Agung menungu langkah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Penyidik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak (WP) atas PPN atau PPH perusahaan transportasi berbasis aplikasi atau daring.
Menyusul aksi protes para supir taxi konvensional yang menuding bahwa keberadaan transportasi massal berbasis daring tersebut ilegal lantaran tak bayar pajak.
Jaksa agung, HM Prasetyo usai melakukan nota Kesepahaman dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Kamis 24 Maret 2016 kemarin mengatakan Jaksa hanya bersifat menungu, lantaran penertiban taksi aplikasi ini aturannya sedang dibenahi oleh kementerian terkait.
"Inikan usaha-usaha baru makanya mau ditertibkan, mereka harus terdaftar dan punya izin. Kalau sudah seperti itu tentunya kewajiban membayar pajak harus di penuhi," tutur Prasetyo di Jakarta.
Sebelumnya Pemerintah melalui tiga menteri, yakni Menkopolhukam, Menteri Perhubungan dan Menteri Kominfo sepakat memberi batas waktu hingga 31 Mei 2016 untuk mengurus izin beroperasinya moda transportasi berbasis aplikasi online di Indonesia.
Salah satu poin dari keputusan 3 menteri itu yakni perusahaan itu harus berbentuk badan hukum atau koperasi, dengan memiliki izin sebagai badan hukum penyelenggara angkutan umum dan melakukan prosedur.
Seperti, pendaftaran kendaraan, uji kir, dan aturan-aturan lainnya. Pengemudi harus memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) A umum.
Nah, atas keputusan itu, pihaknya hanya bersikap menungu lantaran pemerintah masih memberi tengang waktu kepada perusahaan taxi online tersebut. Bila keputusan itu tak diindahkan hingga batas waktu yang ditentukan. Prasetyo menjelaskan tindakan sanksi diberikan oleh penyidik PNS Kemenhub.
"Ya (proses hukum) nanti urusan yang menentukan kementrian perhubungan, kan mereka punya Penyidik PNS (PPNS). Jadi, kita tunggu saja. Yang jelas kewajiban membayar pajak harus di penuhi. Kejagung menunggu, karena masih pendekatan persuasif," ungkapnya.
Meski terjadi pro dan kontra terhadap keberadaan transportasi daring tersebut, Prasetyo menilai bahwa dengan adanya transportasi pendatang baru itu, maka dia berharap transportasi konvensional harus berusaha untuk memperbaiki diri.
"Sekarang kenapa orang meninggalkan taksi konvensional. Karena mereka melihat ada pendatang baru yang lebih nyaman dan lebih murah, iya kan. Jadi tidak ada yang disalahkan. Berarti yang menggunakan bisa salah juga donk, kalau kita lihat dari teori sebab akibat," tutur dia.
Terpisah Direktur Eksekutif LBH Pajak dan Cukai Nelson Butarbutar mendesak agar Pemerintah melalui Kemenhub dan Kementerian Keuangan melalui DJP yang ditopang Kejaksaan Agung RI menggunakan momentum langkah penertiban moda transportasi roda empat dan dua yang berbasis aplikasi daring itu untuk menertibkan sekaligus menggenjot pendapatan pajak yang seharusnya menjadi hak negara.
"Namun ini nampaknya tidak tersentuh ke mereka, selama ini," ujar Nelson
Dia melihat, jangan sampai ada dalih yang dikemukakan berbagai kalangan bahwa moda transportasi itu menjadi alternatif yang disukai masyarakat sehingga menjadi alasan pembenar bagi individu dan atau badan hukum untuk tidak membayar pajak.
"Negara jangan kalah oleh perilaku seperti itu," katanya