TRIBUNNERS - Ulat sagu yang memiliki nama latin Rhynchophorus ferruginesus ini merupakan larva dari kumbang merah kelapa yang hidup di batang sagu yang membusuk.
Setelah bagian dalam batang sagu membusuk, biasanya ada larva yang berasal dari telur kumbang kepala merah dan dalam waktu tertentu akan berubah menjadi anak ulat hingga menjadi ulat dewasa.
Tubuh ulat sagu berwarna putih dan bagian kepalanya berwarna coklat. Ulat ini juga memiliki tubuh yang gemuk dan gempal.
Ulat merupakan hewan yang tidak umum dikonsumsi, namun lain halnya dengan ulat sagu.
Masyarakat di Indonesia bagian Timur, seperti Maluku dan Papua, biasa mengolah ulat ini menjadi makanan yang dapat dikonsumsi.
Bahkan, di daerah Kamoro, Papua, makanan berbahan dasar ulat sagu menjadi menu favorit masyarakat.
Ulat sagu biasa diolah dengan berbagai cara, misalnya disate atau digoreng kering. Konon, ulat sagu memiliki rasa gurih di lidah.
Ulat sagu mentah memiliki tekstur yang kenyal, serta rasa asam, dan tawar dengan rasa asam yang lebih mendominasi.
Ulat sagu matang akan renyah di bagian kulitnya, dan rasanya cenderung seperti sosis dengan tekstur yang kenyal dan padat.
Kelezatan makanan berbahan dasar ulat sagu dipercaya berasal dari telur yang menetas pasca batang pohon membusuk yang kemudian menyebabkan banyaknya kumbang yang bertelur di situ.
Tidak semua masyarakat Indonesia bagian Timur mengonsumsi ulat sagu karena rasa jijik yang timbul saat melihat hewan ini.
Meskipun begitu, tidak sedikit pula masyarakat atau bahkan pendatang yang mencoba memakan ulat sagu ini demi mendapatkan khasiat ulat sagu yang konon katanya dapat meningkatkan stamina tubuh.
Berdasarkan penelitian Istalaksana (2013) dari Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Negeri Papua, ulat sagu terutama mengandung lemak dan protein, sehingga dapat dijadikan sumber lemak dan protein yang baik bagi bahan pangan.
Lemak ulat sagu terdiri dari asam kaprat, asam palmitat dan asam oleat, dengan total keseluruhan mencapai 86%. Kandungan tertinggi adalah asam kaprat (asam lemak rantai menengah) dan asam oleat (asam lemak tak jenuh). Hal tersebut menunjukkan bahwa lipid ulat sagu adalah sumber lemak yang baik bagi bahan pangan.
Kandungan protein kasar pada ulat sagu cukup tinggi, yaitu dengan rata-rata 32,54%.
Kandungan protein yang tinggi dalam ulat sagu nantinya akan digunakan untuk membentuk protein structural yang diperlukan dalam pembentukan jaringan tubuh larva.
Berdasarkan penelitian Purnamasari (2010) dari Jurusan Biologi Universitas Cenderawasih Papua, ransum yang mengandung ulat sagu mempunyai kualitas yang hampir manyamai protein standar (kasein), yang berarti protein ulat sagu dapat dimanfaatkan dalam mendukung pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh.
Kandungan asam amino ulat sagu ada 16 asam amino, 8 diantaranya adalah asam amino esensial, yaitu Isoleusin, Leusin, Lisin, Metionin, Fenilalanin, Threonin, Valin, dan Triptofan.
Protein ulat sagu mempunyai nilai kimia yang tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa ulat sagu memiliki kualitas protein yang cukup tinggi.
Cukup tingginya Nilai Kimia tersebut disebabkan jumlah dan jenis asam amino esensial yang menyusun protein ulat sagu sesuai dengan jumlah dan jenis asam amino esensial dalam pola referensi FAO (1973).
Hal ini berarti jenis dan jumlah asam amino esensial dalam protein ulat sagu dapat mencukupi kebutuhan tubuh untuk membentuk protein yang diperlukan bagi pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh.
Nah, setelah tahu kandungan gizinya, masih jijik untuk mencoba makanan sehat ini? Untuk yang main ke Papua atau Maluku, jangan lewatkan kesempatan untuk mencicipi kuliner khas ini ya.