Ditulis oleh : Fahira Idris
TRIBUNNERS - Desakan agar pemerintah segera merealisasikan kenaikan harga rokok menjadi minimal Rp 50 ribu per bungkus terus menguat.
Usulan kenaikan harga rokok ini merupakan hasil studi dari Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Namun, selain menaikkan harga rokok, Pemerintah diminta tegas mengatur tata niaga rokok yang selama ini begitu semrawut dan terlalu bebas sehingga siapa saja dan di mana saja orang bisa membeli rokok.
Untuk itu, pemerintah diminta menindak tegas berbagai pelanggaran terkait rokok terutama kepada para penjual yang masih seenaknya menjual rokok kepada anak-anak.
"Di negara ini, rokok ada di mana-mana. Mulai dari lampu merah, warung hingga supermarket. Bisa dibeli dan dikonsumsi siapa saja, termasuk anak SD sekalipun. Kalau membiarkan peredaran rokok tidak terkendali seperti ini, artinya bangsa ini sudah melanggar undang-undang perlindungan anak yang mewajibkan pemerintah menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Jadi menaikkan harga rokok saja tidak cukup, pemerintah harus menindak tegas para penjual rokok kepada anak,” ujar Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris, di Jakarta (19/8/2016).
Fahira mengungkapkan, berdasarkan berbagai suvei, jumlah anak-anak yang mengosumsi rokok di Indonesia sudah masuk tahap yang mengkhawatirkan.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Kemenkes, perokok pemula (usia 10-14 tahun) naik dua kali lipat lebih dalam 10 tahun terakhir.
Jika pada 2001 hanya 5,9 persen, pada 2010 naik menjadi 17,5 persen. Pada 2013, Riskesdas menemukan fakta konsumsi rokok pada kelompok usia 10-14 tahun mencapai sekitar delapan batang per hari atau 240 batang sebulan.
Artinya, anak-anak kita sudah menghabiskan Rp120 ribu hanya untuk membeli rokok.
Tidak heran, jika Global Youth Tobbaco Survei, pada 2014, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok anak terbesar di mana 20,3 persen anak sekolah usia 13-15 tahun sudah merokok.
Hasil riset ini juga tidak jauh berbeda dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 yang menyatakan, penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang mengonsumsi rokok sebesar 22,57% di perkotaan dan 25,05% di pedesaan dengan jumlah batang rokok yang dihabiskan selama seminggu mencapai 76 batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan.
"Di Indonesia, orang tua tidak merasa bersalah jika menyuruh anaknya membeli rokok dan menghisap rokok di dekat anaknya. Penjual tidak merasa melanggar hukum menjual rokok kepada anak-anak. Anak-anak kita tanpa rasa takut merokok di ruang-ruang terbuka, dan parahnya semua ini kita anggap hal yang normal. Ingat, mulai 2020 sampai 2030, kita dilimpahi bonus demografi, Indonesia akan diisi lebih banyak penduduk usia produktif. Tetapi jika kondisi ini dibiarkan, negeri ini akan diisi oleh orang-orang berpenyakit kronis,” kata Senator Jakarta ini.
Menurut Fahira, berbagai regulasi terkait rokok mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga peraturan kepala daerah belum maksimal dijalankan terutama dari sisi sosialisasi dan penegakkan hukum.
Fahira mencontohkan PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan sudah tegas melarang setiap orang menyuruh anak di bawah usia 18 tahun untuk menjual, membeli, atau mengonsumsi rokok, tetapi fakta yang terjadi di lapangan, larangan ini dilanggar dan sama sekali tidak ada sanksi bagi yang melanggar.
Berbagai peraturan daerah yang melarang merokok di fasilitas umum juga banyak dilanggar karena tidak ada penindakan hukum yang menjerakan.
“Mulai dari taman kota, sampai tempat rekreasi seperti kebun binatang yang seharus menjadi tempat nyaman bagi anak-anak bermain, dikotori oleh bebasnya orang-orang yang merokok. Komite III DPD yang salah satu lingkup tugasnya bidang perlindungan anak akan mendesak pemerintah melakukan berbagai terobosan untuk melindungi anak dari bahaya rokok,” tutup Fahira yang juga aktivis perlindungan anak ini.