Ditulis oleh : Ina Florencys,Pusat Studi Kependudukan & Kebijakan Universitas Gadjah Mada
TRIBUNNERS - Terbitnya surat edaran mendagri juga dinilai bukan kebijakan yang solutif bagi penataan basis data kependudukan. Surat edaran tersebut bahkan cenderung membingungkan.
Di satu sisi ada tenggat waktu dan pernyataan pemerintah bahwa tidak akan ada sanksi atau punishment.
Namun, di sisi lain warga yang belum memiliki e-KTP akan sulit mengakses layanan publik lainnya yang berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Ini tak lain adalah bentuk sanksi.
Bagi Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr Sukamdi MSc konsekuensi tersebut tidak bisa dibenarkan meski data bisa diaktifkan kembali dengan mengurusnya di dinas kependudukan setempat.
Mengapa? Persoalan bukan hanya kurangnya inisiatif warga.
Sebagian warga menghadapi persoalan akses karena berada di wilayah yang secara geografis sulit dijangkau seperti di perbatasan maupun pelosok atau pedalaman.
Mereka bahkan harus mengeluarkan ongkos transportasi yang tidak sedikit, meski biaya pendaftaran e-KTP gratis.
“Harus diakui, proses merekam data hingga menjadikannya e-KTP masih bermasalah. Ini adalah PR pemerintah sehingga konsekuensi yang harus ditanggung warga akibat tenggat waktu tadi cenderung melanggar. Hak konstitusionalnya dihilangkan,” katanya lagi.
Berikut kami kirimkan siaran pers dalam rangka merespon kebijakan pemerintah tentang pembatasan waktu rekam data kependudukan untuk e-KTP.
Besar harapan kami, rekan-rekan media massa bersedia mempublikasikan siaran pers ini mengingat pentingnya diseminasi informasi tentang hak identitas penduduk, prosedur pelayanan adminduk, serta inovasi kebijakan.