Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyepakati penambahan jumlah kursi DPR sebanyak 15 kursi, sehingga dari semula 560 kursi menjadi 575 kursi pada 2019.
Kesepakatan ini dicapai dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Jakarta, Selasa (30/5/2017).
Penambahan kursi tersebut akan didistribusikan ke Kalimantan Utara sebagai provinsi baru 3 kursi, Riau, Kalimantan Barat, Papua, Lampung, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jambi, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Di sisi lain, dalam dinamika pembahasan revisi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) fraksi-fraksi di DPR cenderung menyepakati penambahan pimpinan DPR, Majelis Permusyawaratan (MPR) RI dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Pimpinan DPR akan bertambah dari semula 5 orang menjadi 7 orang, pimpinan MPR dari 5 orang menjadi 11 orang, dan pimpinan DPD dari 3 orang menjadi 5 orang.
Penambahan kursi DPR serta pimpinan DPR, MPR dan DPD itu tentu saja berkonsekuensi pada membengkaknya anggaran. Dalam catatan Menteri Tjahjo, beban anggaran akibat penambahan kursi DPR berkisar Rp2 miliar per anggota, sehingga penambahan 15 anggota DPR akan menelan Rp30 miliar per tahun.
Dalam catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), bila dihitung gaji 1 anggota DPR per bulan Rp63 juta, dengan tambahan 15 kursi, maka negara perlu menambah alokasi anggaran Rp11,3 miliar per tahun.
Untuk dana reses, bila 1 anggota DPR mendapat dana reses Rp1,7 miliar per tahun, dengan penambahan 15 kursi, maka tambahan dana reses yang harus disiapkan negara Rp25,5 miliar per tahun. Jadi total membengkaknya anggaran menjadi Rp36,8 miliar per tahun.
Bagaimana dengan beban anggaran akibat penambahan pimpinan DPR, MPR dan DPD? Ketua DPR periode 2004-2009 Agung Laksono mencatat, pimpinan DPR yang baru juga akan mendapatkan sejumlah hak protokoler seperti mobil dinas, rumah dinas, tunjangan jabatan, dan pengawalan yang tentu saja akan kian membebani APBN.
Agung mengklaim, di era kepemimpinannya, pimpinan DPR hanya berjumlah 4 orang. Dengan jumlah tersebut, ia merasa bisa bekerja secara optimal. Sebaliknya, dengan jumlah pimpinan DPR 5 orang saat ini justru produktivitasnya dalam menghasilkan undang-undang tergolong rendah (Kompas.com, Minggu, 28/5/2017).
Dengan bertambahnya jumlah pimpinan, ada kekhawatiran setiap pimpinan akan memimpin rapat paripurna hanya sekali dalam setahun, baik di DPR, MPR maupun DPD, sehingga mereka lebih banyak “nganggur”.
Kuantitas anggota DPR bertambah, lalu bagaimana dengan karya (kinerja) dan reputasi atau citranya? Penambahan kursi DPR justru dikhawatirkan akan menambah kompleksitas proses pengambilan keputusan di DPR, terutama menyangkut fungsi legislasi. Dua tugas pokok dan fungsi DPR lainnya adalah budgeting (menyusun anggaran) dan pengawasan.
Bila dirunut ke belakang, penambahan kuantitas kursi DPR dari hanya 260 pada 1955 hingga menjadi 560 kursi pada 2009 dan 2014, ternyata tidak berimbas pada peningkatan kinerja atau produktivitas DPR. Setiap tahun undang-undang yang berhasil disahkan selalu di bawah 10% dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Dengan kata lain, hasil karya DPR relatif rendah. Bila hasil karya diasumsikan sebagai salah satu indikator kualitas anggota DPR, ternyata kuantitas berbanding terbalik dengan kualitasnya.