Tulisan Petrus Selestinus*)
Presiden Jokowi dan semua pihak harus mewaspadai usul Yusril Ihza Mahendra agar Rizieq Shihab diberikan abolisi dan dilakukan rekonsoliasi antara pemerintah dan Rizieq Shihab serta sejumlah aktivis yang dituduh melakukan makar.
Usul Yusril baik soal abolisi mapun rekonsoliasi patut diwaspadai agar tidak terjebak apalagi adanya syarat sebelum rekonsoliasi, terlebih dahulu Presiden harus memberikan abolisi kepada Rizieq Shihab, sementara pada saat yang bersamaan Kuasa Hukum Rizieq Shihab mengirim surat kepada Presiden Jokowi meminta agar Presiden Jokowi memerintahkan Kapolri menghentikan penyidikan kasus percakapan via WhatsApp berkonten pornografi yang diduga melibatkan Rizieq Shihab dan Firza Husein.
Usul Yusril tentang perlunya penghentian penyidikan kasus-kasus Rizieq Shihab demi stabilitas politik, sangat kontradiktif bahkan bertengangan dengan tujuan dilakukan penegakan hukum terhadap Rizieq Shihab yang dalam beberapa forum terbuka Rizieq Shihab diduga berkali-kali mengeluarkan pernyataan yang menyerang nama baik dan kehormatan kelompok agama lain bahkan menyerang nama baik beberapa tokoh nasional, tidak terkecuali lambang negara RI yang kasus-kasusnya saat ini sedang diproses hukum oleh Polri.
Fakta-fakta sosial di lapangan mengungkap dengan jelas bahwa sebelum Rizieq Shihab diproses hukum, kondisi sosial politik di Jakarta dan Bandung sering kali gaduh dan sangat mengganggu ketertiban masyarakat dalam aktivitas berlalu lintas, bahkan sejumlah tempat usaha harus meliburkan kegiatannya karena takut.
Namun sejak proses hukum berjalan dan Rizieq Shihab diberi status tersangka, suasana Jakarta dan Bandung kondusif, ramai lancar bahkan masyarakat puas atas sikap tegas Polri memberi status tersangka kepada Rizieq Shihab sebagai bukti Nawacita hadir di tengah masyarakat.
Dengan demikian, maka kekhawatiran Yusril Ihza Mehendra bahwa stabilitas negara akan terganggu manakala proses hukum terhadap Rizieq Shihab diteruskan dan meminta kebesaran jiwa Presiden Jokowi agar memberikan Abolisi, termasuk menyarankan agar penyidikan kasus Rizieq Shihab tidak dihentikan melalui mekanisme SP3, sangat tidak berdasar bahkan patut diwaspadai, karena diduga bertendensi politik yang destruktif untuk bangsa dan negara.
Sikap Yuril Ihza Mahendra yang demikian cenderung meremehkan hasil penyidikan Polri dan tujuan penegakan hukum itu sendiri, baik yang menyangkut kasus dugaan tindak pidana pornografi, tindak pidana penodaan Lambang Negara dan sejumlah kasus lainnya yang saat ini antri menunggu penyelesaian secara hukum dari pihak Polri.
Menuntut kebesaran jiwa Presiden Jokowi untuk sekdar memberi kenyamanan pribadi kepada Rizieq Shihab melalui Abolisi, tentu sangat tidak kompatible antara kepentingan kenyamanan Rizieq Shihab dengan ketentraman dan stabilitas politik negara, karena aktivitas sosial yang dilakukan oleh Rizieq Shihab dan kompok kecilnya sering menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat, langkah-langkah politik yang dilakukan oleh Rizieq Shihab atas nama agama selama kampanye Pilkada DKI Jakarta juga melahirkan perasaan takut bagi sejumlah kalangan.
Munculnya gerakan Rizieq Shihab dkk. mengingatkan publik akan langkah-langkah lain yang terjadi jauh sebelum pilkada DKI Jakarta diselenggarakan. Karena itu kebesaran jiwa Presiden Jokowi harus ditujukan untuk kenyamanan mayoritas rakyat banyak dan tidak diberikan untuk kenyamanan bagi orang perorang termasuk terhadap Rizieq Shihab. (*)
*) Petrus Selestinus adalah Kord Tim Pembela Demokrasi Indonesia