TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah menerbitkan PerPPU No 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan pada Senin, 10 Juli 2017 kemarin.
Pemerintah berdalih, bahwa PerPPU “Ormas” ini bertujuan untuk memberantas gerakan ormas berupa intoleransi berbasis SARA, makar, hingga aksi teror.
Namun, substansi pasal per pasal PerPPU “Ormas” justru berbanding terbalik dengan tujuan tersebut, ibarat 2 sisi koin.
Dari kacamata kebijakan ketatanegaraan dan konstitusi, penerbitan PerPPU “Ormas” tidak memenuhi syarat yang dimandatkan lewat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 38/PUU-VII/2009.
Pertama, tidak ada urgensi atau kebutuhan yang teramat mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, tidak terjadi kekosongan hukum karena sudah banyak undang-undang yang memadai terkait gerakan ormas berupa intoleransi berbasis SARA, makar, hingga aksi teror.
Ketiga tidak terjadi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan prosedur standar legislasi, karena sudah ada UU Ormas No. 17/2013.
Paling tidak ada 2 aspek kritis yang “diinjak-injak” oleh PerPPU “Ormas” ini.
Pertama¸ terkait nilai-nilai demokrasi. Sistem Demokrasi merupakan mandat reformasi di tahun 1998. Demokrasi inilah yang menempatkan pemisahan kekuasaan (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) secara tegas dengan prinsip yang mengedepankan hukum.
Mekanisme peradilan di bawah kekuasaan Yudikatif dihapuskan (Pasal 63 s/d 80 UU Ormas 17/2013), artinya pemberlakuan sanksi dan pembubaran Ormas tidak lagi diajukan ke forum peradilan namun langsung secara sepihak dilakukan Pemerintah.
Mekanisme ini merusak tatanan hukum dan konstitusi yang memisahkan kekuasaan politik, di mana produk kebijakan (Beschikking) ijin pendirian dan/atau sanksi serta pembubaran Ormas bukanlah jenis kebijakan eksekutif yang mutlak, sehingga tidak perlu melibatkan kekuasaan politik lain sebagai forum pengujiannya dengan prinsip due process of law.
Kekuasaan Eksekutif menguat secara absolut dalam konteks ini, dengan menegasikan porsi kekuasaan politik lain. Tentu ini bertentangan dengan semangat reformasi yang mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan menolak absolutisme eksekutif yang mengarah pada otoritarian seperti rejim Orde Baru.
Kedua, alih-alih melindungi warga negara, justru secara nyata mengancam hak asasi manusia terkait kebebasan berkumpul, berorganisasi dan berekspresi yang merupakan hak konstitusional yang dijamin Pasal 28 E UUD 1945 di mana setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Misalnya, Pasal 82A PerPPU “Ormas” yang mengatur tentang ancaman sanksi pidana kepada siapapun yang menjadi pengurus dan/atau anggota Ormas baik langsung maupun tidak langsung yang melakukan tindakan permusuhan berbasis SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).
PerPPU “Ormas” ini juga melanggar hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28 E dan 29 (2) UUD 1945, dengan adanya ketentuan “penistaan agama” dengan ancaman minimal pidana 5 tahun penjara, padahal tidak pernah ada sebelumnya, dan sudah terlalu eksesif pemidanaannya lewat pasal 156a KUHP maupun UU 1/PNPS/1965.
Oleh sebab itu, PBHI menyatakan, sebagai berikut:
1). Menolak dengan tegas PerPPU “Ormas” karena kontra reformasi dan melanggar hak asasi;
2). Mendesak DPR RI untuk menolak PerPPU “Ormas” dan tidak mengesahkannya;
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Totok Yuliyanto (Ketua) .
Julius Ibrani (Koordinator Program).