Ditulis oleh Tribunners, Dyah Sulistiowati
TRIBUNNEWS.COM, RAKHINE - Maungdaw lagi-lagi dalam keadaan genting. Jumat dini hari lalu (25/8/2017), bentrokan hebat antara militer Myanmar dan gerilyawan Rohingya terjadi di bagian utara Maungdaw, Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Peristiwa tersebut menewaskan setidaknya 77 Muslim Rohingya dan 12 anggota militer Myanmar. Angka kematian ini dirilis oleh kantor Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi, Sabtu (26/8/2017).
Sebelumnya dilaporkan bahwa sebanyak 150 gerilyawan Rohingya melakukan serangan di lebih dari 20 pos keamanan pada pukul 01.00 waktu setempat. Ketegangan berlanjut ketika militer Myanmar di lokasi memberikan serangan balasan.
Letupan senjata dan suara ledakan bom bahkan terdengar hingga ke pemukiman warga di sekitar tempat kejadian.
“Sampai saat ini kami bahkan masih mendengar suara dentuman senjata. Kami tidak berani untuk keluar rumah,” kata salah satu warga pada Jumat dini hari lalu, seperti dilansir dari kantor berita AFP.
Padahal, sehari sebelumnya, Mantan Sekjen PBB Kofi Annan baru saja menggulirkan hasil laporan penelitian timnya menyangkut solusi jangka panjang bagi Pemerintah Myanmar terkait konflik antaretnis di negara tersebut.
“Myanmar harus mencabut pembatasan pergerakan dan kewarganegaraan untuk minoritas Muslim Rohingya yang terniaya. Ini jika mereka ingin menghindari konflik yang lebih jauh dan membawa perdamaian ke negara bagian Rakhine,” papar Kofi Annan, Kamis (24/8/2017).
Dalam sebulan terakhir ini, konflik memang kembali memanas di Negara Bagian Rakhine. Berbagai bentuk kekerasan terus menyasar Muslim Rohingya di beberapa desa yang tersebar di Maungdaw, Buthidaung, dan Rathedaung.
Kekerasan paling parah dialami oleh sejumlah warga Rohingya yang bermukim di Kota Rathedaung, sekitar 77 km dari Maungdaw.
Beberapa pekan belakangan, pasukan militer Myanmar dikerahkan secara masif di Rathedaung. Mereka menjaga pos-pos keamanan yang terus dibangun di sejumlah desa pelosok.
Operasi keamanan secara sporadis dilakukan dengan dalih penahanan terhadap tersangka militan Rohingya. Namun demikian, operasi keamanan tersebut kerap kali menindas warga sipil yang tidak bersalah.
Beberapa desa di Rathedaung diblokade secara sepihak. Frekuensi aksi brutal terhadap warga Rohingya, seperti pemukulan, pembunuhan, pemerkosaan, hingga pembakaran rumah dan lahan pertanian kian meningkat. Dari tindak kekejaman ini, banyak dari warga Rohingya memilih melarikan diri dari kediaman mereka.
Beberapa dari mereka bersembunyi di hutan-hutan sambil berharap adanya pertolongan. Namun demikian, ada pula sejumlah warga yang berusaha melawan. Perlawanan inilah yang diduga menyulut penyerangan di sejumlah pos keamanan di Rathedaung dan Maungdaw yang terjadi Jumat dini hari lalu (25/8/2017).
Konflik memanas, 17 ribu Muslim Rohingya bereksodus ke Bangladesh Pascainsiden Jumat kemarin, ketegangan nampak memuncak di sejumlah desa di tiga kota tersebut. Operasi keamanan yang dilancarkan terus menjadi-jadi.
Media lokal menyebutkan, sekira 1000 rumah warga dibumihanguskan oleh militer Myanmar. Deru tembakan terdengar berkali-kali, menyasar siapa pun warga Rohingya yang dicurigai bagian dari militan.
Akibatnya, jumlah warga yang tewas tertembak pun bertambah. Hingga kini, masih belum diketahui banyaknya korban jiwa tersebut.
Horor yang begitu mengancam memaksa lebih banyak lagi Muslim Rohingya yang mencari suaka di Bangladesh. Sungai Naf kembali dipenuhi ribuan keluarga Rohingya yang sudah lelah akan teror dan kekerasan yang menimpa mereka.
Sampai saat ini sekitar 17 ribu warga berbondong-bondong menyeberangi Sungai Naf menuju Bangladesh, menurut laporan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).
Mitra Aksi Cepat Tanggap yang tinggal di Bangladesh membenarkan adanya eksodus warga Rohingya yang baru tiba di Bangladesh.
“Di Arakan (Rakhine), sedang terjadi serangan penembakan kepada Muslim Rohingya. Lumayan banyak korbannya. Ini yang membuat mereka semua mau tak mau mengungsi ke Bangladesh,” ungkap Hasan, mitra ACT di Cox’s Bazar, Bangladesh.
Menurutnya, pengungsi-pengungsi baru itu kemungkinan akan mencari suaka ke kamp pengungsian terdekat, yakni Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar.
Kutupalong merupakan kamp pengungsian yang telah lama didirikan di Bangladesh. Kini, kamp tersebut menampung lebih kurang 15 ribu keluarga pengungsi Rohingya.
Namun demikian, kondisi kamp pengungsian tersebut bisa dibilang paling memprihatinkan dibandingkan dengan kamp-kamp pengungsian yang lain.
“Kutupalong itu kan ada kamp resmi dan tidak resminya. Keadaan di kamp tidak resmi ini yang memprihatinkan. Selain Kutupalong, kemungkinan mereka akan ditampung di Kamp Balukhali, Cox’s Bazar. Keberadaan kamp ini baru, tapi sudah ada sekitar 4000 keluarga di sana,” jelas Hasan.
Sejak konflik menegang di Rakhine Oktober 2016 lalu, sudah lebih dari 80 ribu Muslim Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh.
Jika saat ini krisis kemanusiaan di Rakhine terus berlanjut, bisa dipastikan puluhan ribu pengungsi baru akan memadati kamp-kamp pengungsian di Bangladesh.
Dengan kondisi kamp yang serba terbatas, mereka akan berjuang bertahan. Status pengungsi akan disandang, sambil menyambut Idul Adha yang jatuh pada pekan depan dalam keterbatasan.