TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagai negara pihak Konvensi Pekerja Migran PBB sejak tahun 2012, untuk pertama kalinya, Indonesia akan disidang oleh Komite CMW PBB (Committee on Migrant Workers) untuk Pekerja Migran pada 4-6 September 2017 di Jenewa, Swiss. Pemerintah Indonesia telah menunaikan kewajibannya dengan mengirimkan laporan pertamanya (initial report) pada April tahun ini.
HRWG, sebagai presidium advokasi internasional Jaringan Pekerja Migran (JBM), telah memfasilitasi dan berhasil menyusun laporan alternatif yang telah dikirimkan ke Komite.
Isi laporan alternatif tersebut di antaranya adalah mendorong Komite untuk merekomendasikan harmonisasi Konvensi Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya kepada pemerintah Indonesia di dalam revisi UU 39/2004.
Sejauh ini, revisi yang sedang berlangsung di parlemen sudah memasukkan Konvensi sebagai salah satu konsiderannya. Dari draft terakhir, terkesan masih adanya monopoli atau dominasi peran PPTKIS dalam perekrutan pekerja migran.
PPTKIS bebas melakukan rekrutmen dan tidak memiliki standar perekrutan di antaranya mencakup soal kurikulum, kemampuan dasar bagi calon pekerja migran, dan sebagainya.
Hal ini mengakibatkan persoalan beban biaya lebih atau overcharging yang ditanggung pekerja migran sementara, jika terjadi kasus terhadap pekerja migran, banyak sekali PPTKIS yang lepas tanggung jawab.
Laporan alternatif juga mengevaluasi tidak efektifnya bilateral agreement atau MoU dalam melindungi pekerja migran dari pelanggaran HAM (pidana dan ketenagakerjaan), di antaranya MoU dengan Malaysia yang sudah habis masa berlakunya namun hingga saat ini pemerintah belum memperbaharuinya.
Sementara masih ada perekrutan pekerja migran Indonesia ke Malaysia dan terakhir terjadi kasus 695 pekerja migran tidak berdokumen yang ditangkap awal Juli 2017 lalu.
Selain itu, MoU dengan Arab Saudi juga minim mengadopsi konten perlindungan dari Konvensi. Bukan merevisi, Indonesia justru mengeluarkan Kepmen No.260/2015 yang melarang pengiriman pekerja migran ke negara-negara Timur Tengah.
Laporan alternatif juga mendrong peran Komnas HAM sebagai lembaga negara untuk memastikan negara menjalankan kewajibannya dalam perlindungan HAM. Hingga saat ini Komnasham tidak fokus menangani isu pekerja migran. Pelaporan dan penanganan kasus pekerja migran hanya bersifat kompilasi.
Laporan juga mengkritisi peran crisis center BNP2TKI untuk mekanisme komplain dan pelaporan kasus pekerja migran tidak menjawab rasa keadilan karena hanya menggunakan proses mediasi dan tidak litigasi padahal ada unsur kepolisian di dalamnya namun tidak digunakan untuk investigasi.
Untuk soal jaminan sosial pekerja migran, laporan alternatif telah memasukan perkembangan di dalam revisi UU 39/2004 yang memasukkan pekerja migran dalam SJSN yakni BPJS Ketenagakerjaan. Namun BPJS tidak memberi jaminan resiko atas adanya pemecatan sepihak, dipindah-pindahkan majikan, pemulangan bermsalah, kegagalan berangkat, dan kasus pemerkosaan dan tidak kekerasan seksual terhadap pekerja migran. Padahal hal tersebut rentan terjadi terhadap pekerja migran.
Laporan juga mendesak Indonesia utuk segera meratifikasi KILO 189 tentang Kerja Layak. Sementara, pada saat yang bersamaan Indonesia juga belum memiliki UU yang mengatur pekerja domestik atau PRT. Padahal, kasus pekerja migran di luar negeri yang mayoritas terjadi terhadap PRT, khususnya perempuan. Hal ini, sejalan dengan ini rekomendasi UPR untuk segera meratifkasi KILO 189.
Hal lain adalah soal hak-hak anak pekerja migran yang sulit mendapatkan sertifikat kelahiran dan pendidikan di dalam dan luar negeri. Padahal hal tersebut adalah hak dasar bagi anak-anak pekerja migran yang terdapat dalam Konvensi. Hal ini banyak terjadi pada anak-anak pekerja migran di Malaysia dan Arab Saudi.
Adopsi agenda sesi ke-27 dilanjutkan dengan pertemuan informal dengan organisasi masyarakat sipil dan Lembaga Komnas HAM pada Senin, 4 September 2017. Sidangnya sendiri (Consideration of Reports submitted by states party) akan berlangsung Selasa, 5 September 2017 pukul 13.00-18:00 dan dilanjutkan pada Rabu, 6 September dari pukul 10.00-13:00 waktu Jenewa. HRWG akan membuat laporan langsung pandangan mata dari Jenewa pada saat sidang berlangsung.
HRWG berharap, sidang Komite akan mendorong standar minimum perlindungan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. Konvensi tersebut mendorong negara agar semakin menyelaraskan perundang-undangannya dengan standar universal yang termaktub di dalam Konvensi tersebut.