News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hakim Cepi Iskandar Memiliki Niat Untuk Memotong Matarantai Keterlibatan Setya Novanto

Editor: Samuel Febrianto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang putusan praperadilan Setya Novanto terhadap KPK terkait status tersangka atas kasus dugaan korupsi KTP elektronik di Pengadian Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9/2017). Hakim tunggal Cepi Iskandar mengabulkan permohonan praperadilan Setya Novanto dan memutuskan penetapan tersangkanya oleh KPK dianggap tidak sah. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Ditulis oleh Petrus Selestinus, Kordinator TPDI/Advokat Peradi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pertimbangan hukum dan amar putusan hakim praperadilan, Cepi Iskandar, dalam perkara Setya Novanto, akan berimplikasi merusak pola, sistem dan strategi penyelidikan dan penyidikan KPK, Polri dan Kejaksaan yang sudah berlangsung selama 36 tahun usia KUHAP.

Putusannya bahkan berpotensi menimbulkan anomali penegakan hukum, semata-mata demi mewujudkan niat untuk menyelamatkan Setya Novanto dan kawan-kawan dari jerat korupsi e-KTP.

Kita tidak temukan pertimbangan hukum putusan praperadilan hakim Cepi Iskandar secara substantif, mengarah kepada perbaikan penegakan hukum yang progresif dalam perkara korupsi.

Melainkan substansi pertimbangan hukumnya telah mendiskreditkan profesionalime penyelidik dan penyidik di semua lembaga penegak hukum, khususnya soal sprindik, penetapan status tersangka dan penggunaan alat bukti dalam perkara yang dipisah.

Pertimbangan hukum dan amar putusan hakim Cepi Iskandar, bahwa sprindik dan penetapan status tersangka Setya Novanto sebagai tidak sah, sebagai sikap yang tidak konsisten dengan konstruksi yuridis mengenai hubungan antara penyelidikan dengan penyidikan menurut UU KPK sebagai satu kesatuan.

Bukankah sprindik dan penetapan status tersangka Setya Novanto itu berdasarkan pada hasil penyelidikan KPK yang sah?

Dalam perspektif pasal 44 UU KPK, maka kalau sprindik dinyatakan tidak sah maka hasil penyelidikannyapun harus dinyatakan tidak sah dan dibatalkan.

Pertanyaannya adalah, mengapa Hakim Cepi Iskandar tidak membatalkan hasil penyelidikan penyelidik KPK yang merupakan dasar penerbitan sprindik dan penetapan status tersangka Setya Novanto?

Di sisi lain hakim Cepi Iskandar justru sedang memainkan peran ganda, di satu pihak seolah-olah ingin mengoreksi kinerja KPK dan menjawab kebutuhan pelayanan keadilan bagi pencari keadilan Setya Novanto, tetapi di pihak lain sesungguhnya hakim Cepi Iskandar telah terjebak dalam skenario pihak ketiga.

Sehingga sikap dan pandangannya dalam merumuskan pertimbangan hukumnya, hanya sekedar memberikan justifikasi kepada putusannya tanpa mempertimbangkan dampaknya seolah-olah mau menggurui penyidik KPK, Polri dan Kejaksaan dengan merusak sistim, pola dan strategi penyelidikan dan penyidikan yang sudah berlangsung selama 36 tahun berlakunya KUHAP.

Ini akan berimplikasi negatif karena akan melahirkan resistensi dari penyidik Polri, Kejaksaan dan KPK, terlebih-lebih para napi yang status tersangkanya diumumkan bersamaan dengan dikeluarkannya sprindik selama bertahun-tahun.

Selama ini sudah jutaan orang dengan jutaan sprindik dikeluarkan bersamaan waktunya dengan penetapan status tersangka seseorang (terakhir kasus Ahok), sebagai bagian dari startegi berdasarkan hasil penyelidikan penyelidik.

Hakim Cepi Iskandar telah mengabaikan fungsi, peran dan karakteristik penyelidikan dan penyidikan di KPK terutama tentang keberhasilan penyelidik KPK mengungkap keterlibatan Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP, lantas mengambil kesimpulan sesat seolah-olah penetapan sprindik yang bersamaan waktunya dengan penetapan status tersangka seseorang sebagai telah melanggar KUHAP dan asas-asas hukum dalam pelaksanaan tugas KPK.

Bagi penyidik Kepolisian dan kejaksaan bahkan KPK, sprindik dan penetapan status tersangka seseorang dalam waktu yang bersamaan sudah menjadi sistim yang baku, bahkan dalam surat pemberitahuan dimulainya penyidikan/SPDP yang ditujukan kepada penuntut umum nama tersangka sudah dicantumkan oleh penyidik dan ini sudah berlangsung 36 tahun sesuai dengan usia KUHAP.

Lalu apa yang salah dari KPK dengan pola ini? Apakah hanya demi seorang Setya Novanto, lantas Hakim Cepi Iskandar harus merusak sistim, pola dan strategi penyidik di seluruh Indonesia dengan segala akibat hukumnya?

Bagi KPK tugas menemukan bukti permulaan yang cukup (sekurang-kurangnya dua alat bukti) adalah spenuhnya menjadi tugas penyelidik pada tahap penyelidikan, karena pada tahap penyelidikan itulah KPK berwenang menentukan apakah penyelidikan ditingkatkan atau dihentikan, karena sangat tergantung kepada ditemukan atau tidaknya sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk menyangka seseorang sebagai pelaku tindak pidana.

Dengan kata lain pematangan tentang sekurang-kurangnya dua alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup dan siapa calon tersangka, berada pada tahap penyelidikan, maka KPK berwenang menghentikan atau melanjutkan Penyelidikan (pasal 44 UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK).

Berdasarkan ketentuan pasal 16 dan 17 KUHAP jo pasal 44 UU KPK, penyelidik KPK berwenang melakukan penangkapan terhadap Setya Novanto dan menyerahkan kepada KPK untuk diberi status tersangka dan ditahan demi kepentingan penyidikan dan penuntutan.

Di sini nampak jelas bahwa KPK belum menggunakan seluruh wewenangnya karena masih menjaga martabat dan kehormatan lembaga DPR RI karena apapun reputasi Setya Novanto dia adalah Ketua DPR RI dan Ketua Umum DPP Golkar.

Dengan demikian maka pandangan Hakim Cepi Iskandar bahwa KPK tidak menjaga harkat dan martabat Setya Novanto, karena tidak dilakukan diujung penyidikan, adalah tidak benar.

KPK dapat mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Setya Novanto sebelum dikeluarkannya surat perintah penyidikan No.Sprin.dik-56/01/07/2017, tanggal 17 Juli 2017, namun kewenangan itu tidak digunakan dan itu sah-sah saja demi menjabat martabat seseorang.

Apa yang harus dilalukan oleh KPK terhadap Setya Novanto pascaputusan Praperadilan, mengingat secara de fakto status tersangka Setya Novanto sudah dibatalkan dan penyidikannya dihentikan berdasarkan putusan Hakim Cepi Iskandar.

Yang harus dan perlu dilakukan segera oleh Penyelidik KPK adalah menggunakan wewenangnya menangkap Setya Novanto pada saat hendak meninggalkan rumah sakit, untuk selanjutnya dibawa ke KPK guna menghadapi pemeriksaan selama 1 x 24 jam dan bersamaan dengan itu dikeluarkan sprindik dan status tersangka baru untuk ditahan, sebagai pemenuhan terhadap Putusan Hakim Cepi Iskandar.

KUHAP maupun UU Tipikor, tidak memberikan batasan apakah Penetapan Tersangka seseorang itu harus di awal atau di ujung penyidikan, karena hal itu sepenuhnya merupakan wewenang dan pertimbangan subyektif Penyidik sebagai bagian dari strategi penyidikan dan bergantung kepada ditemukannya sekurang-kurangnya dua alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup.

Apalagi antara penyelidikan dan penyidikan tidak dapat dipisahkan, karena di tahap penyelidikan, penyelidik dibebankan oleh UU harus menemukan sekurang-kurang dua alat bukti untuk menyangka siapa kira-kira sebagai pelakunya dengan kewenangan melakukan pemeriksaan saksi, penyitaan alat bukti, penggeledahan, penangkapan dan sebagainya, bahkan bisa menghentikan penyelidikan.

Karakteristik penyidikan KPK, bergantung kepada hasil penyelidikan dari penyelidik, sebagimana diatur dalam Pasal 44 UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK, yang mensyaratkan penyelidik KPK menemukan "bukti permulaan yang cukup" sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti adanya dugaan tindak pidana korupsi (kecuali OTT).

Jika pada tahap penyelidikan, penyelidik tidak menemukan "bukti permulaan yang cukup" KPK menghentikan penyelidikan.

Dengan demikkan terdapat perbedaan karakteristik penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian/Kejaksaan dengan di KPK, dimana di Kepolisian atau Kejaksaan Penyidikan dapat dihentikan dengan SP3.

Alasan Hakim Cepi Iskandar bahwa alat bukti untuk terdakwa Irman, Sugiharto dan Andi Narogong tidak bisa dipakai oleh KPK untuk memeriksa dan menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka, juga tidak memiliki landasan hukum, dari mana argumentasi itu muncul dibenak Hakim Cepi Iskandar?

Sementara tidak aturan yang melarang, toh Hakim seharusnya menyadari bahwa antara tersangka/terdakwa Irman, Sugiharto dan Andi Narogong bersama-sama dengan Setya Novanto dan kawan-kawan berada dalam satu rangkaian tindak pidana korupsi e-KTP secara bersama-sama, yang demi kepentingan teknis pembuktian di persidangan Pengadilan Tipikor perkaranya displit oleh penyidik dan penuntut umum untuk keperluan pembuktian dalam persidangan lainnya.

Dalam berbagai putusan hakim, terkait alat-alat bukti untuk tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama, hakim selalu mempertimbangkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang meminta agar beberapa alat bukti lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara lain yang terkait dengan perkara terdakwa lain yang berkas perkaranya displit, dinyatakan tetap berada dalam berkas karena akan dipergunakan untuk keperluan perkara lain.

Mengapa di dalam kasus Praperadilan Setya Novanto, Hakim Cepi Iskandar justru bersikap lain menyatakan tidak boleh dipakai untuk menetapkan Setya Novanto sebagai Tersangka?

Dari alasan-alasan Hakim Cepi Iskandar di atas, nampak dengan jelas Hakim Cepi Iskandar memiliki niat untuk memotong matarantai keterlibatan Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi e-KTP demi meloloskan Setya Novanto dan kawan-kawan.

dari ancaman pidana korupsi dan mencoba melakukan pembusukan terhadap proses persidangan yang sedang berjalan di persidangan Pengadilan Tipikor, baik terhadap terdakwa Irman, Sugiharto dan Andi Narogong, maupun nantinya untuk Terdakwa Setya Novanto dan kawan-kawan.

Jika KPK meneruskan perkara Setya Novanto ke persidangan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tindakan Hakim Cepi Iskandar sudah masuk dalam kategori kejahatan korupsi karena menghambat penyidikan korupsi e-KTP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini