Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Entah sudah berkonsultasi dengan Presiden Joko Widodo selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sebagaimana bunyi Pasal 10 UUD 1945, kalau memang tak boleh disebut Panglima Tertinggi, atau belum, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengusung “Bersama Rakyat TNI Kuat” sebagai tema peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-72 TNI yang digelar hari ini, Kamis 5 Oktober 2017, di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten.
Rakyat, kata Gatot, adalah ibu kandung TNI, sehingga TNI harus berjuang bersama rakyat untuk menjaga kedaulatan negara ini.
TNI kuat! Sudah seharusnya demikian. Sejak kelahirannya pada 5 Oktober 1945 hingga sekarang ini, TNI adalah komponen bangsa yang sangat kuat.
Bahkan ketika otoritas sipil “menyerah” saat Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948 di Yogyakarta, dengan tertangkapnya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Panglima Besar Jenderal Sudirman memilih melancarkan perang gerilya di hutan.
“Satu-satunya hak milik nasional/republik yang masih utuh, tidak berubah-ubah, meskipun harus mengalami segala macam soal dan perubahan, hanyalah angkatan perang Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia),” kata Sudirman di kemudian hari.
Berjuang bersama rakyat! Ketika Gatot hadir di tengah-tengan Aksi Bela Islam II, 2 Desember 2016, dengan mengenakan peci putih, bukan baret TNI, serta mengaku tersinggung bila umat Islam dituding akan melakukan makar dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi pada 4 Mei 2017, apakah ia sedang berjuang bersama rakyat? Gatot berdalih, kehadirannya di tengah massa untuk menjaga NKRI dan kepresidenan Jokowi.
Ketika Gatot menginstruksikan jajarannya menonton film G30S/PKI, dan terlibat “psywar” dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, apakah ia sedang berjuang bersama rakyat? Gatot berdalih, pemutaran film itu bukan untuk mendiskreditkan pihak tertentu, melainkan untuk diketahui generasi muda agar tidak terprovokasi dan terpecah belah lagi.
Ketika dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI, Senin (6/2/2017), Gatot “curhat” (mencurahkan isi hati) dengan mengeluhkan kewenangannya dipangkas terkait alat utama sistem persenjataan (alutsista), melalui Peraturan Menhan No. 28 Tahun 2015, apakah ia sedang berjuang bersama rakyat? “Saya buka ini untuk mempersiapkan adik-adik saya, karena saya mungkin besok diganti,” kata Gatot (Tribunnews.com, 7/2/2017).
Saat tampil dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar di Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (22/5/2017), dan membacakan puisi berjudul “Tapi Bukan Kami Punya” karya konsultan politik Denny JA yang berisi kritik terhadap pemerintah, apakah perwira tinggi kelahiran Tegal 13 Maret 1960 ini juga sedang berjuang bersama rakyat?
Saat curhat di depan para purnawirawan TNI, Jumat (22/9/2017), bahwa ada institusi di luar TNI dan Polri yang memaksa dengan mencatut nama Presiden untuk menyelundupkan 5.000 pucuk senjata api, dan minta restu kepada para seniornya untuk mengambil langkah-langkah bila ada yang membayakan negara, bahkan menyerbu institusi lain, apakah Gatot juga sedang berjuang bersama rayat? Gatot berdalih, tidak boleh ada institusi yang memiliki senjata api kecuali TNI dan Polri.
Apa pun yang terjadi, kalau memang TNI kuat, mestinya Sang Panglima tak perlu banyak curhat. Kalau memang merasa kewenangannya ada yang dipangkas, mengapa Gatot tak langsung curhat ke Presiden Jokowi? Apakah curhat di depan Komisi I DPR karena DPR itu wakil rakyat, sehingga ia merasa sedang berjuang bersama rakyat?
Kalau memang ada data intelijen ihwal penyelundupan senjata oleh institusi di luar TNI dan Polri, mengapa Gatot tidak menyampaikan langsung kepada Presiden Jokowi, tetapi malah curhat ke para purnawirawan, apakah karena purnawirawan sudah menjadi warga sipil sehingga ia pun merasa sedang berjuang bersama rakyat?
Ada yang berspekulasi, seringnya Jenderal Gatot curhat di luar karena hubungannya dengan Presiden Jokowi bak “api di dalam sekam”. Apakah itu karena faktor politik? Gatot membantah.
“Panglima TNI pasti berpolitik. Politiknya adalah politik negara, bukan politik praktis. Sebagai Panglima, saya harus melaksanakan tugas sesuai konstitusi. Politik saya politik negara," kata Gatot (Kompas.com, Rabu 4 Oktober 2017).
Kalau memang ada perbedaan pendapat antara Presiden dan Panglima TNI, bukankah itu wajar, karena Presiden lebih banyak bergerak di ranah politik, sedangkan Panglima TNI lebih banyak bergerak di ranah pertahanan. Tapi, apa pun perbedaannya, sesuai amanat Pasal 10 UUD 1945, Panglima TNI harus tunduk kepada Presiden. Kecuali ia sudah “kebelet” berpolitik praktis, maka saran Wakil Presiden Jusuf Kalla, agar tentara yang mau berpolitik keluar dari TNI, patut dilaksanakan.
Di hari jadi TNI ini nampaknya menarik untuk merekonstruksi hubungan Presiden Soekarno dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman di masa-masa genting. Dalam biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams, “Penyambung Lidah Rakyat”, terkait Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948, disebutkan, pagi-pagi buta sebelum pasukan payung militer Belanda mendarat dan mengusai Bandara Maguwo (kini Adi Soetjipto), Yogyakarta, Sudirman mendatangi Soekarno.
“Saya minta dengan sangat agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya akan meninggalkan kota ini dan masuk hutan,” kata Sudirman sambil memohon, “Bung, pergilah bersama saya.”
“Engkau seorang prajurit,” jawab Soekarno, “Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu, dan tempatmu bukan pelarian untukku. Aku harus tinggal di sini sehingga memungkinkan aku untuk berunding dan memimpin rakyat kita semua.”
"Jangan adakan pertempuran di jalan-jalan dalam kota. Kita dengan cara itu tidak akan mungkin menang. Akan tetapi, pindahkanlah tentaramu keluar kota. Dirman, berjuanglah sampai mati. Aku perintahkan kepadamu untuk menyebarkan seluruh tentara ke desa-desa. Isilah seluruh lembah dan bukit. Tempatkan anak buahmu di setiap semak belukar. Ini adalah perang gerilya semesta," pesan Soekarno kepada Sudirman.
Terbukti kemudian, perang gerilya yang ditempuh Sudirman mampu meyakinkan dunia internasional bahwa eksistensi Republik Indonesia masih terjaga, sehingga memudahkan Bung Karno melakukan diplomasi politik. Kemerdekaan RI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 pun bisa dipertahankan hingga sekarang.
Kesimpulannya, biarlah politik diurus otoritas sipil, sedangkan TNI mengurus pertahanan. Kita sependapat dengan Jenderal Gatot bahwa politik TNI adalah politik negara, bukan politik praktis. Dengan demikian, TNI akan tetap berada di tengah-tengah rakyat, sehingga TNI pun akan kuat. Atau jangan-jangan Sang Panglima yang tidak kuat sehingga suka curhat? Dirgahayu TNI!
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, tinggal di Jakarta.