Sesungguhnya apa pun status Novanto, sebagai saksi atau pun tersangka korupsi, tidak terkait dengan jabatannya sebagai Ketua DPR. Status itu merupakan dampak dari perbuatan personal/individual, bukan institusi DPR, meskipun saat kasus itu terjadi, 2011-2012, posisi Novanto sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR.
Jadi, mengapa institusi DPR yang harus menerbitkan surat ke KPK? Bukankah Novanto bisa berkirim surat pribadi atau melalui kuasa hukumnya ke KPK? Bukankah hal tersebut berpotensi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan)? Di sini kadang kita merasa sedih, institusi DPR yang mewakili seluruh rakyat Indonesia kadang tersandera oleh kepentingan pribadi segelintir oknumnya.
Pasal 86 UU MD3 menyebutkan, tugas Pimpinan DPR antara lain memimpin dan menyimpulkan hasil sidang, menyusun rencana kerja, melakukan koordinasi, dan menjadi juru bicara DPR.
Novanto adalah anggota DPR, dan sebagai anggota DPR, ia berkedudukan sama dengan 559 anggota DPR lainnya, tak kurang dan tak lebih.
Bahwa jabatannya sebagai Ketua DPR, itu hanya sebatas juru bicara yang mewakili institusi DPR. Setya Novanto bukan DPR, dan DPR bukan Setya Novanto.
Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai, Novanto melakukan blunder. Sebab, pada Pasal 245 ayat (3) huruf c UU MD3 disebutkan bahwa ketentuan pada ayat (1) tidak berlaku terhadap anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana khusus. Korupsi adalah tindak pidana khusus bahkan dilabeli sebagai extraordinary crime.
Jadi tidak ada alasan bagi Novanto untuk mangkir dari pemeriksaan KPK. Novanto kurang cermat karena hanya melihat satu ayat pada pasal tersebut (Kompas.com, 6 November 2017).
Mantan hakim MK Harjono juga berpendapat, MK saat itu tidak mengubah Pasal 245 ayat (3) yang menyatakan ketentuan ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR diduga melakukan tindak pidana khusus, termasuk korupsi. Oleh karena itu, KPK tetap berwenang memeriksa Novanto meski tanpa izin Presiden.
Di pihak lain, KPK bekerja berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 yang bersifat lex specialis. Dalam hukum dikenal lex specialis derogate legi generalis, aturan khusus menyimpangi aturan umum.Itulah sebabnya, meski Pimpinan DPR bersurat ke KPK agar menunda penyidikan terhadap Novanto, KPK tak mengindahkannya.
Apalagi, total sudah sembilan kali Novanto dipanggil KPK sebagai saksi kasus e-KTP, dan beberapa pemanggilan yang bersangkutan hadir serta tak pernah ada alasan harus meminta izin Presiden terlebih dahulu. Mengapa kini Novanto, yang dikabarkan kembali menjadi tersangka korupsi e-KTP melalui Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) No. B-619/23/11/2017 yang diteken pada Selasa, 31 Oktober 2017, oleh Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman, berubah pikiran? Mungkinkah ia mencium aroma tak sedap SPDP itu?
Mestinya Novanto yakin bisa bebas kembali bila mengajukan praperadilan. Ia bahkan bisa mencontoh Ketua Kadin Jawa Timur La Nyalla Mattalitti yang tiga kali berhasil memenangkan praperadilan di PN Surabaya dalam kasus dugaan korupsi penggunaan dana hibah pada Kadin Jatim untuk pembelian initial public offering (IPO) Bank Jatim, dan akhirnya bebas di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 30 November 2016 meski sempat dituntut enam tahun penjara.
Novanto memang bukan La Nyalla Mattalitti yang keponakan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali. Tapi setidaknya ia dikabarkan pernah bertemu Hatta Ali di Surabaya.
Apalagi Novanto juga pernah disebut Donald Trump sebagai orang kuat Indonesia. Sebagai orang kuat, tak patut bila takut, meski juga tak patut bila berucap, “l'etat c'est moi” (negara adalah saya), sebagaimana Raja Louis XIV dari Perancis.
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.