TRIBUNNERS – Hari ini tepat 40 tahun keberadaan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memberikan kontribusi dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum (alternative dispute resolution/ ADR).
Sistem arbitrase diyakini mampu menjawab tantangan dunia usaha karena memiliki prinsip kepastian, kerahasiaan, serta waktu yang relatif singkat dalam penyelesaian sengketa. Dengan kata lain, sistem ini efektif dan efisien.
Meskipun demikian, sistem arbitrase dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) bukanlah tanpa tantangan.
Baca: 94 Jadwal Penerbangan Dari Soekarno Hatta Menuju Bali Dibatalkan
Di satu sisi, pelaku usaha mulai nyaman menggunakan mekanisme arbitrase, di lain sisi, putusan arbitrase masih dapat dilakukan pembatalan oleh pengadilan.
Oleh karenanya, BANI secara lembaga terus mendorong agar UU Arbitrase dapat diubah (revisi). Hal ini sangat diperlukan bagi pemenuhan prinsip final dan mengikat.
Implikasi lanjutan dari pemenuhan prinsip ini adalah meningkatnya kepercayaan dunia usaha terhadap sistem hukum di Indonesia.
“Insiatif bisa datang dari Pemerintah dan DPR mendukung,” ujar Husseyn Umar, Ketua BANI dalam International Seminar: Indonesia and The Development of International Arbitration, Shangri-la Hotel Jakarta (28/11/2017).
Lebih lanjut, Husseyn menjelaskan bahwa peran Negara sangat penting untuk menciptakan serta mendukung sistem penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Dukungan Negara dan peradilan terhadap penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang bersifat suportif dapat mendorong gairah dunia usaha, terlebih di tengah derasnya kompetisi global.
“Kita bisa mencontoh Singapura dan Malaysia. Pemerintahnya mendukung penuh serta memberikan dukungan bagi keberadaan dan perkembangan lembaga arbitrase di sana. Tidak hanya mengenai hal yang berkenaan dengan sarana juga kepastian hukum bagi pelaksanaan putusannya,” paparnya.
Pendapat Hussyen Umar juga diamini oleh koleganya, Frans Hendra Winarta. Menurutnya, Indonesia perlu menghargai pilihan cara atau mekanisme penyelesaian sengketa antara para pihak yang berkontrak.
“Para pihak yang sudah memilih arbitrase harus dihargai. Gak bisa dihilangkan dengan cara apapun juga. Klausul arbitrase tetap hidup. Prinsip-prinsip arbitrase harus masuk dalam revisi nanti,” jelas Frans Hendra Winarta, salah seorang Arbiter BANI.
Salah satu praktisi hukum lainnya yang setuju agar UU Arbitrase direvisi adalah Todung Mulya Lubis.
Menurut Todung, kepercayaan dunia usaha terlebih dari luar negeri sangat rendah terhadap sistem arbitrase dan ADR di Indonesia. Perubahan fundamental sistem ini harus bermula dari pemenuhan prinsip final dan mengikat (final and binding).
“Arbitrase dan mediasi ideal (cepat, murah) kita masih belum baik. Sudah saatnya reformasi fundamental sistem ADR kita. Final and binding, kelemahan kita karena bisa di challenge. Ini masalahnya,” ungkap Todung Mulya Lubis.
BANI