TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di dalam perkembangan Komisi VII DPR RI selama tahun 2017 isu yang mengemuka dan berkembang terkait sektor migas dan ketenagalistrikan.
Dalam tulisan singkat ini akan diulas refleksi peran pemerintah melalui isu migas terkait dengan penguatan pertamina dan memperbaiki penataan kelistrikan nasional.
Hal itu relatif hangat dan kerap diperbincangkan di dalam ruang publik saat ini dan kiranya dapat dijadikan bahan refleksi untuk mengarah kepada kebaikan di kemudian hari.
Menyoal BBM Satu Harga
Sedari awal melalui Komisi VII DPR RI terutama Fraksi Partai Demkrat DPR RI terus mendorong upaya ketahanan energi dan kemadirian energi melalui pengelolaan migas yang berkeadilan untuk kemaslahatan bangsa.
Defisit energi di Indonesia sudah dirasakan dengan semakin bergantungnya kita terhadap impor minyak, peran minim dari perusahaan migas nasional (hanya sekitar 20% dari seluruh wilayah di Indonesia), semakin rendahnya penemuan wilayah eksplorasi, serta relatif lesunya harga minyak dunia.
Persoalan tersebut ditambah dengan konsumsi rata-rata minyak di Indonesia sebesar 1,5 juta barel per hari dengan laju kebutuhan minyak bumi rata-rata 3% per tahun dengan impr BBM sekitar 44% sehingga diperkirakan pada tahun 2025 konsumsi akan mencapai menjadi sekira 2 juta barel per hari.
Padahal pendapatan hasil minyak dalam negeri rata-rata hanya mampu sekitar 750 ribu sampai 800 ribu barel per hari.
Dapat dibayangkan kebergantungan terhadap minyak bumi begitu tinggi, sehingga Pemerintah RI masih harus mencari sumber minyak tersebut dengan membeli dari negara lain.
Untuk itu peran perusahaan migas nasional yang teruji dan sehat menjadi keniscayaan. Sampai saat ini PT Pertamina (persero) masih dibebani service obligation untuk memenuhi target distribusi minyak dan gas secara nasional dengan pemerataan akses dan harga sama di seluruh wilayah Indonesia.
Padahal banyak perusahaan migas asing yang beroperasi seperti Total, Chevron, Petronas yang memiliki SPBU di Indonesia tidak diwajibkan melakukan distribusi di luar Pulau Jawa, apalagi di wilayah terpencil yang sangat terbatas infrastruktur migas.
Peran itu kenyataanya diambil alih oleh PT Pertamina (Persero), sehingga tugas dan tanggung jawab perusahaan tersebut begitu besar. Profesionalisme, kemandirian, kerja keras, dan kejujuran membuat perusahaan ini menjadi sorotan publik ditengah harapan yang begitu besar terhadap kinerja yang dapat memberikan kemajuan bangsa.
Pertanyaanya apakah perusahaan tersebut sanggup menangung beban tersebut?
Pertamina merupakan aset milik bangsa untuk yang harus diberikan ruang yang cukup untuk peningkatan akselerasi untuk pemanfaatan energi dan sumber daya mineral di Indonesia.
Namun sungguh sayang pada kenyataanya, Pertamina yang lebih muncul diawal tetapi perkembangannya masih jauh tertinggal dari Petronas (Malaysia).
Hal yang disoroti oleh Fraksi Partai Demokrat terkini yakni, salah satunya soal penugasan satu harga yang diberikan tidak berdampak positif dan seakan-akan menjadi beban untuk pertamina.
Program BBM satu harga diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2016 tentang percepatan pemberlakuan program BBM satu harga, jenis BBM tertentu dan BBM jenis khusus penugasan secara nasional yang berlaku sejak 1 Januari 2017.
Implementasi kebijakan yang berjalan selama 10 bulan tentu harus terus dikawal dan perlu dievaluasi.
Meski pemeritah saat ini berargumen hal itu merupakan kewajiban utama untuk memberikan solusi terbaik untuk masyarakat di seluruh Indonesia.
BBM satu harga merupakan program inisiatif oleh Presiden Jokowi dilatarbelakangi oleh tingginya harga BBM di Papua karena minimnya fasilitas yang dapat menjaga harga Rp. 100.000/liter.
Tingginya harga BBM pada umumnya belum disediakan infrastruktur dan pengiriman BBM pun melalui pesawat yang mengakibatkan tingginya biaya transportasi.
Untuk itu pemerintah yang bekerjasama dengan Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, dan PT Pertamina mewujudkan BBM satu harga di Papua dan di daerah lain seperti Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia, yang tak pernah merasakan langsung BBM subsidi dan membeli BBM secara illegal dari Malaysia dengan harga minimum Rp. 16.000/liter dan pernah mencapai harga Rp.50.000/liter.
Melalui Peraturan Menteri ESDM (Permen) No.36 Tahun 2016 tentang percepatan pemberlakuan program BBM satu harga, jenis BBM tertentu dan BBM jenis khusus penugasan secara nasional. Pada intinya peraturan ini mengamanatkan badan usaha yang menyalurkan BBM bersubsidi segera membangun penyalur di lokasi tertentu yang belum terdapat BBM jenis tertentu dan BBM jenis penugasan, sehingga masyarakat dapat membeli BBM dengan harga jual eceran yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Merujuk kepada SK Dirjen, SK/09/10BJM/2017 untuk pendistribusian BBM jenis tertentu dan BBM jenis khusus penugasan telah menetapkan 148 titik yang membutuhkan lembaga penyalur. Tahun 2017 terdapat 59 lembaga penyalur, tahun 2018 terdapat 54 lembaga penyalur dan 2019 terdapat 46 lembaga penyalur.
Tahun 2016 sudah beroperasi sebanyak 9 penyalur, yaitu 7 penyalur di Papua dan 1 penyalur di Papua Barat dan 1 penyalur di Kalimantan Utara.
Sehingga total pada 4 Desember 2017, total lembaga penyalur sebanyak 34 penyalur yang terdiri dari 32 penyalur dari PT Pertamina dan 2 penyalur PT AKR.
Ujung tombak dan tanggungjawab menyalurkan BBM masih menjadi tanggung jawab utama perusahaan plat merah tersebut.
Di sisi lain ada hal negatif mengenai tugas tersebut, berbagai pihak melalui media massa menyebutkan bahwa PT. Pertamina terbebani dengan penetapan satu harga BBM jenis premium baik di Jawa, Madura, Bali maupun di luar Pulau Jawa.
Kementerian BUMN menyebutkan bahwa PT. Pertamina persero telah menanggung kerugian dari penjualan BBM penugasan hingga 30 Juni 2017 mencapai US$ 957.000.000 atau sekitar 12 Triliun.
Itu bukan angka yang sedikit, namun potensi sungguh besar yang dimiliki oleh perusahaan tersebut.
Tentu dengan pendapatan Pertamina itu akan menjadi kekuatan besar di dalam melakukan investasi jika dilakukan dengan tepat.
Kerugian Pertamina saat ini tidak jelas disebabkan oleh sektor apa dan bagaimana dapat terjadi.
Apakah penugasan BBM satu harga ini juga membebani terhadap pelaksanaan kegiatan di Pertamina? Atau ada aspek lain seperti piutang atau meningkatnya alokasi investasi pengembangan bisnis? Hal itu kalau tidak dicermati dan ditempatkan pada porsinya yang sesuai maka akan menjadi beban terhadap kemampuan perusahaan migas nasional untuk berdikari.
Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM (Permen) Nomor 36 Tahun 2016, penyaluran BBM untuk penugasan relatif sederhana yaitu dari badan utama penugasan harus membangun infrastruktur dan fasilitas penyaluran.
Mereka juga yang melakukan distribusi ke pelosok tanah air, hal itu sebenarnya sangat bagus sebagai bagian mengambil peran serta membangun jaringan distribusi nasional tetapi tentu jangan terlampau membebani keuangan Pertamina. Hal itu harus menjadi hal yang patut untuk dicermati.
Seyogyanya negara juga harus membantu dengan menangung pengeluaran distribusi Pertamina sehingga perusahaan tersebut tidak terbebani.
Pertamina lebih banyak dibebani untuk program satu harga yang belum tercapai, terlebih lagi ada kerugian 12 Triliun sampai bulan juni 2017.
Di sisi lain, Pertamina tunduk kepada UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dalam Pasal 2 ayat 1 tentang Pemerintah mewajibkan BUMN mengejar keuntungan, namun apa daya tetapi pertamina justru merugi.
Jika kondisinya seperti demikian, sudah barang tentu semustinya Pemerintah dapat memberikan “konsesi” atau kemudahan ke Pertamina dengan memberikan lahan-lahan blok migas dengan kualitas terbaik dan Blok-blok seperti blok Mahakam yang akan dialihkan pengelolaanya dengan prioritas ke perusahaan migas nasional. Pemerintah juga harus membantu terkait usaha yang dipermudah dan masalah perizinannya.
Keutamaannya proses izin jangan dipersulit, karena Pertamina sebenarnya membantu Pemerintah di dalam pemanfaatan dan pengelolaan BBM nasional.
Upaya perbaikan sektor ketenagalistrikan
Sumber daya listrik merupakan kebutuhan yang sangat penting, mendasar, dan strategis untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan manusia serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat.
Kebijakan energi nasional harus mencakup beberapa dekade dengan mempertimbangkan berbagai sumber energi disamping itu pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu.
Oleh karena itu diperlukan ketahanan pasokan energi (security of supply) yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah saat ini.
Di era Pemerintahan SBY telah membuat pondasi dasar yang kuat terkait aturan ketenagalistrikan, yaitu dalam UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mengamanatkan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyediaan tenaga listrik.
UU tersebut juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam memberikan persetujuan atas harga tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik. UU itu menyatakan bahwa tarif tenaga listrik untuk konsumen dapat ditetapkan secara berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha.
Kebijakan Pemerintah terhadap tarif adalah tarif tenaga listrik secara bertahap dan terencana akan diarahkan untuk mencapai nilai keekonomian sehingga tarif tenaga listrik dapat menutup biaya pokok penyediaan yang telah dikeluarkan.
Tenaga listrik merupakan komoditas mahal karena proses penyediaan tenaga listrik merupakan kegiatan yang padat modal, padat teknologi, padat usaha, dan memiliki risiko usaha yang tinggi sehingga memerlukan jaminan pengembalian atas investasi yang dikeluarkan.
Pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik tersebut tidak dapat sepenuhnya dipenuhi PT. PLN karena keterbatasan kemampuan, sehingga masih ada beberapa sistem kelistrikan di luar Jawa-Bali yang mengalami kekurangan pasokan daya.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, PLN telah membangun pembangkit tenaga listrik selain dari pembangkit listrik milik PLN sendiri juga menyewa pembangkit diesel dan melakukan pembelian listrik swasta.
Hal ini menjadi langkah besar bagi Pemerintah dalam penyediaan listrik karena dibutuhkan dana yang begitu besar dalam investasi infrastruktur ketenagalistrikan, mulai dari pembangunan pembangkit-pembangkit baru, jaringan transmisi, dan hingga jaringan distribusi agar listrik dapat disalurkan hingga ke konsumen dengan mutu dan keandalan yang baik.
Upaya yang Harus Dilakukan
Fraksi Partai Demokrat melihat, menilai, dan memberikan solusi.
Rasionalisasi penggunaan pembangkit listrik berbasis kepada daya dukung dan sumber pembangkit lokal juga harus dilakukan.
Pemborosan belanja barang berupa pembangkit yang boros BBM harus segera dihilangkan karen jauh dari sifat efisiensi dan perlu dilakukan mapping area kebutuhan listrik wilayah agar dapat terserap dengan baik.
Penentuan nilai tarif menuju harga keekonomian perlu dilakukan secara bertahap menuju subsidi yang wajar dan memperhatikan perkembangan kemampuan bayar masyarakat.
Perlu pengembangan informasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan bidang energi dan sebagai arahan dalam menentukan program pemanfaatan energi alternatif di Indonesia.
Perlu pemanfaatan yang sebesar-besarnya dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada, sehingga kesejahteraan dapat merata, dan untuk menjaga lingkungan hidup dengan mememanfaatkan green energy yang menumbuhkan pembangunan berkelanjutan.
Diperlukan Inventarisasi energi alternatif yang sudah dan sedang dilakukan, serta kebijakan dan Peraturan Pemerintah tentang percepatan dan pemanfaatan energi alternatif.
Serta melakukan inventarisasi mengenai karakteristik wilayah dari sisi geografis, lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya di wilayah-wilayah yang berpotensi menghasilkan sumber daya listrik lokal.
Kiranya dua isu tersebut dapat menjadi bahan refleksi yang konstruktif di tengah situasi yang di akhir 2017 yang kian silang sengkarut.
Semoga setiap kita dapat menerima sesuai kebutuhannya dan kemampuannya.
Ditulis oleh Politikus Demokrat yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR Herman Khaeron