Inilah menjadi ruang pembuka “dibenarkannya” aparat alat-alat kekerasan negara (koersif) seperti polisi dan TNI aktif dibolehkan Pjs Gubernur.
Hal berbeda dengan konsiderans menimbang Permendagri No. 74/2016 yang secara konkrit dan sadar bahwa dalam rangka kewajiban cuti Gubernur petahana diperlukan jaminan keberlangsungan pemerintahan daerah untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur yang ditinggalkan karena melaksanakan kampanye dalam pilkada.
Ketiga, dalam konsideran mengingat, Permendagri yang menekankan tertib administrasi dan kepastian hukum justeru tidak mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tertib administrasi sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dimana segala hal ihwal administrasi pemerintahan diatur dalam ketentuan tersebut dan segala perbuatan atau tindakan cuti dan penggantian Pjs Gubernur merupakan tindakan administratif pejabat tata usaha negara.
Hal ini menjadi kelemahan mendasar karena UU No. 30/2014 seharusnya menjadi rujukan utama dalam pembentukan Permendagri.
Keempat, masih konsiderans mengingat, Kemendagri menambahkan UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara dalam Permendagri No. 1/2018 yang sebelumnya tidak tercantum.
Pada hemat saya, pemuatan UU No. 39/2008 justeru semakin meneguhkan bahwa perluasan norma dari rumusan “Kementerian Dalam Negeri” menjadi “Pemerintah Pusat” semakin tidak relevan karena UU No. 39/2008 pada prinsipnya mengatur bahwa urusan Kemendagri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden, dalam hal ini pemerintahan daerah.
Apalagi Kemendagri merupakan kementerian yang nomenklaturnya diatur dalam UUDN RI 1945 (Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) UU No. 39/2008) sehingga urusannya tidak dapat diserahkan ke lembaga lain termasuk ke lembaga Polri/TNI.
Kelima, dalam Pasaal 1 biasanya memuat ketentuan umum yang memuat definisi atau istilah yang sering dipakai dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan.
Kita tidak menemukan penjelasan pembentukan atau penambahan norma istilah dari Pelaksana Tugas (Plt) (permendagri No. 74/2016) menjadi Pjs saat ini.
Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf q dan Pasal 71 ayat (4) UU Pilkada yang dikenal hanya istilah penjabat tanpa penambahan kata “sementara”.
Oleh karena, pejabat Gubernur menjalani cuti diluar tanggungan negara selama masa waktu kampanye sudah bermakna “kesementaraan”.
Karena hanya bersifat sementara maka pengisian jabatan Gubernur yang ditinggal sementara lebih tepat dengan istilah pelaksana harian atau penjabat harian (Plh).
Norma yang dipakai tetap kata “penjabat” sementara kata “harian” lebih bermakna nomina (lama waktu) sebagai pengganti Gubernur definitif.
Baik Plh, Plt dan Pjs tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat startegis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian dan anggaran, kuncinya karena sifat “kesementaraan” itu.