News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Membaca Psikologi SBY

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua umum partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat orasi di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (7/2/2017). SBY menyampaikan pidato politik dalam rangkaian Dies Natalies ke 15 partai Demokrat yang diawali Rapimnas.

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Naluri seorang ibu! Mungkin itulah yang terjadi, sehingga Ny. Kristiani Herawati atau Ibu Ani Yudhoyono “turun gunung”, mendampingi suaminya, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melaporkan Firman Wijaya, kuasa hukum mantan Ketua DPR Setya Novanto, terdakwa korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), ke Polda Metro Jaya (PMJ), Selasa (6/2/2018), dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik.

Seperti induk ayam yang mengembangkan kedua sayapnya demi menyembunyikan anak-anaknya dari ancaman bahaya, Ibu Ani, yang kemudian kondisi psikologisnya menjalar ke SBY, pun ingin melindungi anaknya, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, yang diklaim SBY ikut diseret-seret dalam kasus e-KTP.

Semua bermula dari kesaksian mantan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Mirwan Amir dalam persidangan Setya Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (25/1/2018).

Dalam kesaksiannya, mantan politisi Partai Demokrat yang kini bergabung dengan Partai Haura itu mengaku sempat menyarankan Presiden SBY untuk tidak melanjutkan proyek e-KTP karena bermasalah, namun saran itu tak digubris.

Belakangan, nama Ibas tertulis dalam buku hitam Setya Novanto yang dibawa ke persidangan, Senin (5/2/2018). Buku ini sempat “diintip” wartawan, sehingga diketahuilah ada nama Ibas.

Keesokan harinya, SBY didampingi Ibu Ani, melaporkan Firman Wijaya ke PMJ, setelah beberapa saat sebelumnya menggelar jumpa pers di Kantor DPP Partai Demokrat, di mana Ibu Ani juga mendampingi SBY bersama kedua putranya, Ibas dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Jadi, ada jeda 11 hari antara penyebutan nama SBY oleh Mirwan Amir dan pelaporan SBY ke PMJ. Namun, jeda antara munculnya nama Ibas dan pelaporan Firman Wijaya ke PMJ hanya sehari. Disinyalir, Ibu Ani lebih mengkhawatirkan, meminjam istilah SBY, diseret-seretnya nama Ibas daripada nama SBY.

Karena merasa khawatir itulah, diduga mantan first lady ini meminta suaminya melapor ke PMJ.

Bila Ibu Ani lebih khawatir dengan penyebutan nama SBY, niscaya ia akan langsung minta suaminya itu melaporkan Firman Wijaya hari itu juga atau keesokan harinya, tak perlu menunggu belasan hari. SBY pun “manut” saja.

Mengapa Ibu Ani lebih mengkhawatirkan Ibas daripada suaminya dari ancaman bahaya? Lagi-lagi, itulah naluri seorang ibu.

Meski Ibas sudah dewasa, bahkan sudah berumah tangga dan memiliki dua anak, seorang ibu tetap akan menganggapnya ibarat anak ayam yang perlu perlindungan induknya. Apalagi, SBY sudah makan asam garam kehidupan, bahkan kenyang “fitnah”, dan terbukti SBY masih tegar berdiri hingga hari ini.

Saat SBY melaporkan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar ke Bareskrim Polri, Rabu (15/2/2017), dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik, pelaporan itu cukup diwakilkan sejumlah pengurus Demokrat, tak perlu SBY datang sendiri, apalagi Ibu Ani.

Begitu pun saat SBY melaporkan LSM Bendera ke PMJ dengan tuduhan fitnah, pencemaran nama baik dan penghinaan, karena menuding tim sukses SBY kecipratan dana Bank Century senilai Rp1,8 triliun, Selasa (1/12/2009), pelaporan itu cukup diwakilkan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menpora Andi Mallarangeng, Mekopolhukam Djoko Suyanto, Ibas, serta Rizal dan Choel Mallarangeng. SBY, apalagi Ibu Ani, tak perlu datang.

Saat didemo pengunjuk rasa yang membawa kerbau “Si Bu Ya”, 28 Januari 2010, meskipun sempat tersinggung, namun SBY tidak melaporkan hal tersebut ke polisi. SBY cukup menyentilnya dengan mengimbau agar aksi demonstrasi dilakukan dengan menjunjung tinggi pranata dan kepantasan.

Itu semua terjadi karena Ibu Ani dan SBY merasa anak-anak mereka tak ada yang terancam bahaya. Sebaliknya, bila merasa anaknya ada yang terancam bahaya, maka respons Ibu Ani dan SBY pun akan refleks, dengan turun langsung ke “medan perang”.

Demi melindungi anak jualah, kali ini si sulung AHY, saat maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada 2017, SBY pidato soal “lebaran kuda” di kediamannya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat,Rabu (2/11/2016), untuk mendesak Polri memproses hukum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait dugaan penistaan agama. Pidato yang emosional itu sebenarnya bukan tipikal atau langgam SBY yang biasanya lembut dan santun.

Demi sang anak, SBY bahkan siap “jihad” seorang diri, “nglurug tanpa bala”. Ia mengaku mendapat permintaan dari pengurus partainya untuk ikut mendampingi membuat laporan, namun SBY menolak.

Begitu pun tawaran bantuan dari para mantan menterinya, SBY mengaku ingin menghadapi tuduhan tersebut seorang diri. "Ini perang saya, this is my war. Perang untuk keadilan! Yang penting bantu saya dengan doa," katanya.

PSSI

Akomodatifnya SBY terhadap aspirasi Ibu Ani tentu sesuatu yang wajar. Sebagai suami, secara insting dan psikologis, Ketua Umum Partai Demokrat ini ingin membahagiakan istrinya, dengan menuruti permintannya.

Ini tak berarti SBY anggota “ISTI” (Ikatan Suami Takut Istri) atau pun “Istikomah” (Ikatan Suami Takut Istri Kalau di Rumah), tetapi justru SBY termasuk “PSSI” (Persatuan Suami Sayang Istri).

Saat memimpin Indonesia selama dua periode (2004-2009 dan 2009-2014), SBY pun konon termasuk “PSSI”. Ibu Ani-lah konon “pembisik” yang paling didengarkan SBY, termasuk dalam soal reshuffle kabinet, yang diduga lebih mempertimbangkan faktor moral daripada kinerja.

Sebagai seorang istri, Ibu Ani tidak suka ada menteri SBY yang punya “WIL” (Wanita Idaman Lain), apalagi terlibat cinta terlarang, sehingga mau tak mau bila ada yang demikian maka mereka harus dicopot atau mengundurkan diri dari Kabinet Indonesia Bersatu.

Setidaknya ada tiga menteri SBY yang dicopot lantaran terlibat cinta terlarang. Mereka adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh, Menteri Perhubungan Freddy Numberi, dan Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa (Sindonews.com, 9 Desember 2012).

Keberhasilannya menjadi Ibu Negara mendampingi SBY akhirnya berbuah manis. Atas jasanya itu, Ibu Ani menerima anugerah bintang Adi Pradana dari Presiden SBY yang tak lain suaminya sendiri (Kompas.com, 12 Agustus 2011).

Mungkin Presiden AS Harry S. Truman urung menjatuhkan “Little Boy” di Hiroshima dan “Fat Man” di Nagasaki, Jepang, 6 dan 9 Agustus 1945, bila malam sebelumnya saat tidur berdua, Ny. Truman berbisik, “Pa, jangan jatuhkan bom atom ke Jepang ya, kasihan rakyat yang tak berdosa.”

Alhasil, istri sangat memengaruhi kondisi psikologis suaminya, presiden atau raja sekalipun, entah “ISTI”, “Istikomah” atau “PSSI”.

Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, tinggal di Jakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini