Oleh: Sopyan Iskandar
TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPR Bambang Soesatyo mendorong Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menjadi calon wakil presiden (cawapres) bagi petahana Presiden Joko Widodo pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Menyandingkan Jokowi-Prabowo sebagai capres-cawapres, menurut Bamsoet, akan menghindari perpecahan antara kedua pendukungnya, baik di masyarakat maupun di parlemen.
Hasil survei sejumlah lembaga juga menunjukkan pasangan Jokowi-Prabowo didukung mayoritas responden.
Menurut Indo Barometer, pasangan Jokowi-Prabowo akan mendapat 50,5% suara jika melawan pasangan Jusuf Kalla-Anies Baswedan (3,2% suara). Bahkan menurut Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), 66,9% responden menyatakan setuju Jokowi-Prabowo berpasangan.
Tapi tidak bagi penulis. Jika berpasangan dengan Jokowi, “marwah” Prabowo justru akan tergerus. Pamor mantan Komandan Jenderal Kopassus itu akan memudar, sehingga elektabilitasnya pun akan turun. Betapa tidak?
Gerindra selalu menggaungkan Prabowo adalah capres. Bila kini hanya menjadi cawapres, lalu apa kata dunia?
Dukungan kader militan Gerindra akan terberai. Mereka akan kecewa. Idealisme dan aspirasi mereka akan tercabik. Moral kader pun akan luruh. Ujung-ujungnya, pada Pemilu 2019 posisi Gerindra melorot dari posisi tiga besar.
Padahal, prestasi Gerindra pada Pemilu 2014 cukup mentereng, yakni 73 kursi di DPR atau14.760.371 (11,81%) suara. Prabowo adalah ikon Gerindra, bila ikon itu hanya menjadi cawapres, militansi kader pun akan lumer.
Di sisi lain, Prabowo akan dicap sebagai pemburu kekuasaan. Tak ada akar, rotan pun jadi, tak jadi capres, cawapres pun jadi, yang penting kebagian kue kekuasaan meski secuil.
Kalau sekadar berburu kekuasaan, mungkin sudah dilakukan Prabowo saat Presiden Soeharto, mertuanya saat itu, lengser keprabon, 21 Mei 1998. Tapi itu tidak dilakukan Prabowo, karena ia menyimpan idealisme bahwa seorang pemimpin adalah benar-benar sosok yang dicintai dan dipilih rakyat.
Rakyat bagi Prabowo ibarat air bagi ikan tempatnya bernafas. Sebab itu dengan telaten ia ikut Pilpres 2009 dengan menjadi cawapresnya Megawati, dilanjutan menjadi capres pada Pilpres 2014 menantang Jokowi, meskipun kalah. Kalah menang dalam politik itu soal biasa.
Sinyalemen bahwa menyandingkan Jokowi-Prabowo akan menghindari perpecahan antara kedua pendukungnya, baik di masyarakat maupun di parlemen, juga tidak benar.
Terbukti, kegaduhan yang terjadi antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo hanya terjadi di dunia maya, sementara di dunia nyata tetap adem-ayem saja.