TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - "Ekspresi saya pertama kali mendengar berita ada warga negara yang menggugat dua perusahaan rokok besar di Indonesia adalah sungguh kaget."
Demikian dikemukakan peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng dalam keterangannya di Jakarta, Senin (12/03/2017).
Seperti di ketahui seorang warga negara Rohayani (50) menggandeng advokat senior Todung Mulya Lubis yang juga Duta Besar RI di Norwegia dan Azas Nainggolan dari Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia.
Dalam somasinya, Rohayani mengaku menjadi pecandu rokok Gudang Garam dan Djarum sejak 1975 hingga 2000, lantas menuntut ganti rugi kepada Gudang Garam sebesar Rp 178.074.000.
Baca: Kecanduan Rokok, Rohayani Mensomasi Gudang Garam dan Djarum
Jumlah itu sama dengan uang yang dihabiskan Rohayani untuk membeli rokok produk Gudang Garam ditambah santunan senilai Rp 500 miliar.
Rohayani juga menuntut Rp 293.068.000 kepada Djarum, ditambah santunan senilai Rp 500 miliar. Jika ditotal, kedua tuntutan mencapai lebih dari Rp 1 triliun.
Menurut Daeng, dirinya bukan ahli hukum namun dia memahami sebagai warga negara bisa saja Rohani punya hak melakukan gugatan itu.
Namun lanjut Daeng, kebijakan politik tembakau pemerintah, rokok atau tembakau adalah sesuatu yang legal dengan kategori berbahaya yang ada "warning" atau peringatan di dalamnya dan pemerintah menarik cukai yang cukup besar dari Industri rokok ini. Sama seperti produk lain misalnya alkohol.
"Nah jadi jika warga negara atau rakyat merasa di rugikan atau bahaya atas rokok ini maka sebenarnya itu adalah tanggung jawab pemerintah karena pemerintah melegalkan hal ini dan menarik cukai yang besar dari industri ini sehingga menurut saya gugatan kepada industri rokok ini sebenarnya adalah alamat, harusnya pemerintah yang di gugat karena dilegalkan," sebut Daeng.