Oleh: Alex Palit
Sebagai pendukung gerakan moral #SelamatkanIndonesia yang bersemangatkan bhinneka tunggal ika dan NKRI harga mati, saya bukan anti #Salam2Periode, saya bukan anti #2019GantiPresiden, tapi saya #AntiKekerasan, #AntiRadikalisme, #AntiIntoleransi, dan menentang #PolitikSARA.
Bagaimana hari ini kita saksikan, hanya lantaran beda pandangan, beda pendapat, beda pilihan politik seperti pada saat jelang gelaran pilkada atau pilpres, kita pun saling tebar serangan ujaran kebencian (hate speech) maupun berita bohong (hoax) antar kubu pendukung. Dan kita pun terpolarisasi dan terbelah olehnya.
Termasuk bagaimana kita saksikan tontonan kekerasan-kekerasan sosial yang dipicu politisasi bernuansa keagamaan atau politik SARA. Celakanya kemunculan politik SARA ini justru terendus dihembuskan demi kepentingan politik pragmatis.
Bagaimana kita saksikan sebuah tragedi kemanusiaan atas nama keyakinan ideologi yang dianutnya orang kehilangan akal sehatnya melakukan penyerangan dan pembunuhan dengan melakukan tindakan peledakan bom bunuh diri pada tiga gereja dan Mapolrestabes Surabaya yang mengakibatkan korban nyawa, luka dan derita orang-orang tak bersalah dan tak berdosa olehnya.
Tak kalah ironisnya – juga di luar akal sehat – sang pelaku peledakan bom bunuh diri inipun menyertakan anaknya dijadikan tumbal keyakinan ideologinya.
Ataukah ini hanyalah kegagalan paham atau salah paham dalam memahami keyakinan ideologi yang dianutnya?
Ataukah ini hanyalah merupakan kegagalan diri dalam memahami sejarah panjang histori kultural kebangsaan kita?
Benarkah kita yang secara histori kultural dikenal sebagai bangsa yang bermartabat ramah, penuh welas asih, penuh toleransi, santun, guyub saling menghargai dan menghormati sebagaimana dari cerita yang ada, kini sudah kehilangan kemesraan sosial?
Adakah kini yang salah dengan kita dalam memahami sejarah panjang kehidupan bangsa ini?
Sudah retakkah kemesraan sosial kita?
Sebagaimana cerita yang ada, Indonesia yang secara histori kultural digambarkan sebagai bangsa yang ramah, selalu hidup guyub rukun harmonis, penuh toleransi saling menghormati dan menghargai yang disemangati oleh warisan kearifan budaya leluhur nenek moyang ora ono kamulyan tanpo seduluran sebagai perekat kemesraan sosial.
Kini harmonisasi kemesraan sosial ini diteror tindak kekerasan, dipersekusi, bahkan di bom, oleh radikalisasi fanatisme atas nama pembenaran keyakinan ideologis yang dianutnya.
Di sini saya ingin mengajak kita sebagai anak bangsa merenungkan kembali sejarah panjang bangsa ini lewat pemahanan filosofis kearifan lokal ajaran leluhur nenek moyang yaitu ora ono kamulyan tanpo seduluran, manusia tidak akan menemukan kemuliaanya tanpa rasa persaudaraan.
Mari kita #SelamatkanIndonesia dengan merajut kembali kemesraan sosial ora ono kamulyan tanpo seduluran sebagai bangsa bersemboyankan dan bersemangatkan bhinneka tunggal ika. Semoga!
*Alex Palit, aliansi pewarta independen #SelamatkanIndonesia