TRIBUNNEWS.COM - Klaim pemerintah bahwa negosiasi hampir deal dengan PT Freeport perihal divestasi saham 51 persen nampaknya terbantahkan.
Perundingan final belum berakhir atas beberapa isu krusial.
Pertama, Freeport (PTFI) tetap menginginkan kontrol penuh atas manajemen perusahaan meski nantinya tidak lagi menjadi pemegang saham mayoritas.
Hal ini tentu bukan tanpa alasan. PTFI masih ragu atau kualitas SDM Indonesia untuk memegang kendali operasional tambang, terutama operasi bawah tanah yang sangat berbahaya dan kompleks.
Keinginan PTFI yang ngotot memegang kendali tentu bertentangan dengan prinsip dasar korporasi; pemegang saham mayoritas tentulah pemegang kendali operasi perusahaan.
Kedua, PTFI meminta jaminan stabilitas investasi dalam operasinya, yaitu kepastian kelanjutan usaha dua kali 10 tahun sampai 2041.
Baca: Kenangan Mbak Tutut Tentang Tukang Cukur Pak Harto yang Mangkal di Jl Agus Salim
Artinya, PTFI akan tetap menguasai operasional perusahaan sampai 2041 dan hal tersebut kontradiktif dengan prinsip divestasi saham dan bertentangan dengan spirit UU No. 4/2009 tentang Minerba.
Ketiga, PTFI keberatan atas aturan lingkugan yang ketat terutama mengenai pembuangan tailing (limbah tambang) Grasberg di sungai di sekitar wilayah operasinya.
Estimasi ore yang digali PTFI setahunnya mencapai 2,5 milyar ton dan 90 persen tailingnya dibuang di sungai.
Freeport keberatan atas keputusan menteri LH No. 431/2008 dan meminta agar keputusan menteri tersebut dicabut.
Baca: Di Ajang Akbar Ini, Pengunjung Bisa Jajal Performa Mobil Terbaru Jaguar dan Land Rover
Keempat, masyarakat adat Amungme dan Komoro tidak dilibatkan dalam proses negosiasi.
Sebagai penduduk asli di sekitar pertambangan, merupakan kekeliruan besar apabila isu yang berkaitan dengan masyarakat adat tidak dijadikan materi dalam negosiasi.
Merugikan
Melihat hasil sementara kerangka yang disepakati dalam divestasi saham, nampak bahwa tim Indonesia tidak berkutik di hadapan raksasa tambang AS itu.