Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Ustaz Abdul Somad (UAS) dan Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Salim Segaf Al-Jufri direkomendasikan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) sebagai calon wakil presiden bagi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, calon presiden terkuat penantang petahana Presiden Joko Widodo.
Di pihak lain, Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi diunggulkan sebagai salah satu kandidat cawapres bagi Jokowi.
De javu! Prabowo dan Jokowi pun diprediksi akan kembali bertarung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, mengulang pertarungan di Pilpres 2014 yang dimenangkan Jokowi. Keduanya kini sibuk menggalang partai koalisi masing-masing menjelang pendaftaran capres yang akan dibuka Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 4-10 Agustus 2018.
UAS yang berasal dari Riau dikenal sebagai pendakwah muda kondang dan alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. TGB adalah Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) yang juga alumus Universitas Al Azhar, Kairo, bahkan menjadi Ketua Alumni Al Azhar Cabang Indonesia.
Salim Segaf adalah seorang habib atau keturunan Nabi Muhammad SAW, dan mantan Duta Besar RI untuk Arab Saudi dan mantan Menteri Sosial RI. Baik UAS, TGB maupun Salim Segaf dikenal sebagai ustaz atau guru, dan ulama atau orang yang ahli ilmu agama (Islam).
Kini, godaan ulama untuk menjadi umara atau pemimpin tak terelakkan lagi. Ustaz Yusuf Mansyur kemudian mengimbau para ustaz muda agar bersiap menjadi umara, menyusul UAS, TGB atau Salim Segaf bila memang nanti salah satunya terpilih menjadi umara, dalam hal ini wakil presiden.
Mengapa ulama perlu bersiap menjadi umara? Lalu apa istimewanya ketika ulama bertransformasi atau bermetamorfosis menjadi umara? Menurut Yusuf Mansyur, kalau ustaz sudah dicalonkan menjadi petinggi di Indonesia, hal tersebut menjadi pertanda baik bagi para generasi penerus yang fokus di bidang dakwah.
Ustaz mulai diberi kepercayaan untuk menjadi umara atau pemimpin. Sebab itu, Yusuf meminta para pemuda yang fokus di dunia dakwah agar meningkatkan kompetensi diri, karena pada waktunya nanti pendakwah muda ada kesempatan untuk ikut berkompetisi di percaturan politik.
Sesungguhnya tak ada yang baru dari fenomena ulama menjadi umara di pucuk pimpinan RI, karena sebelumnya BJ Habibie yang pernah menjadi Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pernah menjadi Wakil Presiden RI (1997-1998) dan kemudian Presiden RI (1998-1999). Cendekiawan muslim itu serupa tapi tak sama dengan ulama.
Juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang pernah menjadi Presiden RI (1999-2001). Pun Hamzah Haz, saat itu Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang juga dikenal sebagai ulama, pernah menjadi Wapres RI mendampingi Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004).
Itu di tingkat pusat. Di tingkat daerah juga demikian. Selain TGB yang dua periode menjadi Gubernur NTB, Ahmad Heryawan dari PKS juga pernah menjadi Gubernur Jawa Barat, juga dua periode. Menyusul kemudian Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum Muslimat NU yang pada Pilkada 27 Juni 2018 lalu terpilih menjadi Gubernur Jawa Timur.
Itu di ranah eksekutif. Di ranah legislatif, ustaz atau ulama yang bertransformasi menjadi umara juga tak sedikit. Sebut saja misalnya KH Idham Chalid, mantan Ketua Umum PBNU, dan mantan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid, di mana keduanya sama-sama pernah menjadi Ketua MPR RI, bahkan saat ini pun Hidayat masih menjadi Wakil Ketua MPR RI. Juga ada Ismail Hasan Metareum, Ketua Umum PPP saat itu, yang menjadi Wakil Ketua DPR RI.
Add value atau nilai tambah ulama bertransformasi menjadi umara salah satunya ialah kelak mereka tidak saja sekadar menjadi penyeru moralitas terhadap umara dan masyarakat, melainkan lebih dari itu, menjadi eksekutor dari kebijakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sehingga dampaknya akan lebih luas. Idealnya demikian.