*Oleh: Xavier Quentin Pranata (Penulis Buku)
TRIBUNNEWS.COM - Polda Metro Jaya menangkap MIK (38) satu tersangka penyebar hoaks tujuh kontainer surat suara tercoblos. Pelaku MIK diketahui berprofesi sebagai guru SMP. MIK ditangkap di rumahnya, di kawasan Metro Cendana, Cilegon, Banten, Minggu (6/1/2019), sekira pukul 22.30.
Guru seharusnya menjadi orang yang ‘digugu lan ditiru’ bukan hanya oleh murid, tetapi juga masyarakat sekitar. Namun apa yang dilakukan oleh Mik justru ‘wagu lan saru’.
Bukan kebetulan jika namanya Mik yang mengingatkan saya pada mik yang merupakan singkatan dari mikrofon.
Sahabat saya, Hanny Layantara, sangat peduli terhadap ‘keselamatan’ mik. “Bukan hanya mahal, mik yang jatuh menimbulkan kerusakan di dalamnya,” ujarnya memberi alasan.
Jika mik rusak, maka suara yang dihasilkan pun akan terdistorsi. Anak sulung saya, lulusan school of audio engineering di Melbourne, sangat tahu hal ini.
Itulah sebabnya dia memperlakukan mik dengan hati-hati. Persis seperti seorang itu yang merawat anaknya.
Mengapa Miknya Mik Bisa Bocor?
Sebuah video clip singkat memberikan peringatan bagi setiap ortu. Seorang ayah meminta anak gadis kecilnya untuk membuatkan teh manis. Setelah disajikan, sang ayah meminumnya tanpa mengucapkan terima kasih.
“Ayah, kok tidak mengucapkan terima kasih?”
“Nggak perlu begitu-begituan. Udah pergi sana.”
Suatu kali sang anak minta uang untuk beli baju. Saat diberi uang, anak gadisnya ngeloyor begitu saja. “Kok tidak mengucapkan terima kasih?” tegur ayahnya.
“Nggak perlu begitu-begiuan!” jawab anaknya sambil berlari meninggalkan ayahnya.
Siapa yang salah? Actions speak louder than words. Tindakan sang ayah—jauh lebih dinilai—ketimbang nasihatnya.
Saya tidak tahu dan tidak mau berspekulasi, mengapa Mik yang seorang guru bisa melakukan tindakan tercela dengan menyebarkan hoax? Siapa yang dia tiru? Apakah karena salah pergaulan? Atau ikut-ikutan? Atau malah dibayar? Biar pengadilan yang berhak. Kita tidak perlu berandai-andai.
Yang jelas, Jika guru menyebarkan ilmu palsu bayangkan muridnya. Apakah Anda berani periksa ke seorang dokter yang ijazahnya palsu? Jangan-jangan obat yang dipakai untuk menyuntik kita pun palsu?
Penghakiman memang bisa lebih kejam. Sekali lancung dalam ujian, kata pepatah, seumur hidup orang tidak percaya. Percuma kita puluhan tahun menjaga integritas jika satu tindakan lancung kita membuat orang memancung nama baik kita!
Orang yang menyebarkan hoax, jika ketahuan dan ditangkap seperti Mik bukan hanya menerima sanksi hukum, sanksi organisasi dan sanksi sosial jelas lebih berat karena berlangsung lama sekali.
Filter itu Bernama Pengendalian Diri
Seorang murid mendatangi gurunya. “Guru, sahabat guru mengatakan sesuatu di belakang Bapak,” lapor muridnya.
“Sebelum engkau teruskan ceritamu, apakah sesuatu yang dikatakan itu benar?” tanya gurunya.
“Tidak guru,” sahut muridnya pendek.
“Apakah yang dikatakan itu baik?”
“Sebaliknya, Guru. Dia mengatai-ngati guru,” sahut muridnya. “Apakah ucapannya itu bermanfaat?”
“Sama sekali tidak. Mendengar saja membuat saya ingin marah,” jawab muridnya.
“Nah, jika ucapan orang itu tidak benar, tidak baik dan sama sekali tidak bermanfaat, untuk apa engkau teruskan kepadaku?”
Ucapan guru yang bijak itu bisa kita terapkan bagi diri sendiri. Saat mengobrol dengan pimpinan pabrik garmen, bos itu menjelaskan proses produksi di pabriknya.
“Setiap pekerja bertanggungjawab terhadap mesin dan pekerjaan di depannya. Dia tidak boleh menerima barang rusak. Dia tidak boleh membuat barang rusak. Dia tidak boleh meneruskan barang rusak. Dengan demikian, kualitas kontrol pabrik kami terjamin,” ujarnya dengan kebanggaan yang tidak bisa disembunyikan.
Kontrol Internal
Saat ini—khususnya menjelang pemilu—setiap orang ingin menjadi guru dan pahlawan. Dia merasa cukup pandai untuk menggurui orang lain siapa pilihan yang paling baik, benar dan pantas memimpin Indonesia. Suatu sikap dan tindakan yang mulia.
Namun, sayangnya, banyak yang ternyata menjadi pahlawan kesiangan. Mengapa? Karena tahu beritanya sudah basi dan menyebarkannya sehingga yang dikirimi menerima barang yang jauh lebih basi lagi.
Jadi, jika kita menerima informasi apa pun, kita cek lebih dulu, apakah benar? Jika ragu-ragu, berhenti sampai kita saja.
Kedua, apakah baik? Jika tidak, mengapa harus dibagikan. Siapa yang mau menerima barang busuk? Ketiga, apakah berguna? Jika tidak, buang saja ke tempat sampah.
Mikrofon yang rusak butuh biaya tinggi untuk memperbaikinya. Moral yang rusak butuh waktu jauh lebih lama lagi. Mengapa kita tidak menjaga dan merawatnya agar mik dari Tuhan (baca: mulut) kita agar hasilnya tetap jernih?
• Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.